STRATEGI PEMENUHAN
KEBUTUHAN PANGAN RUMAHTANGGA PEDESAAN
DI
KABUPATEN
PONOROGO
I.
PENDAHULUAN
Ketersediaan pangan secara makro tidak
menjamin tersedianya pangan di tingkat mikro rumah-tangga
penduduk. Produksi prtanian di lokasi tertentu pada musim panen
mengakibatkan terjadinya konsentrasi ketersediaan pangan di daerah produksi selama
musim panen. Pola konsumsi yang relatif sama di antara individu, antar-waktu dan
antar-daerah, mengakibatkan adanya masa-masa defisit (paceklik) dan
lokasi-lokasi defisit pangan. Dengan demikian, mekanisme pasar dan distribusi pangan antar lokasi dan
antar waktu dengan mengandalkan stok pangan, dapat berpengaruh terhadap
kesetimbangan antara ketersediaan dan konsumsi, serta berdampak pada harga yang
terjadi di pasar. Faktor harga juga terkait dengan daya beli rumah tangga terhadap pangan. Meskipun bahan
pangan tersedia di pasar namun jika harganya tinggi (dan daya beli rumah tangga
rendah) akan mengakibatkan rumah tangga tidak dapat mengakses bahan pangan yang
ada di pasar. Kondisi seperti ini dapat memicu timbulnya kerawanan
pangan.
Penduduk rawan pangan adalah mereka yang tingkat konsumsi energinya rata-rata
71-89 % dari kecukupan energi normal. Sementara penduduk dikatakan sangat
rawan pangan jika hanya mengkonsumsi energi kurang dari 70% dari kecukupan
energi normal. Jumlah anak balita dengan status gizi buruk dan gizi kurang
di daerah rawan pangan biasanya juga cukup banyak. Kondisi ini
menunjukkan bahwa ketahanan pangan di tingkat nasional atau wilayah tidak
selalu berarti bahwa tingkat ketahanan pangan di rumah tangga dan individu juga
terpenuhi. Masalah-masalah distribusi dan mekanisme pasar yang
berpengaruh pada harga, daya beli rumahtangga yang berkaitan pendapatan rumah
tangga, dan tingkat pengetahuan tentang pangan dan gizi sangat berpengaruh pada
konsumsi dan kecukupan pangan rumah tangga.
Konsumsi pangan merupakan banyaknya atau jumlah pangan, secara tunggal maupun
diversifikasi, yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis. Tujuan
fisiologis adalah upaya untuk memenuhi keinginan makan (rasa lapar) atau untuk
memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. Tujuan psikologis adalah untuk
memenuhi kepuasan emosional atau selera; sedangkan tujuan sosiologis adalah
untuk memelihara hubungan manusia dalam keluarga dan masyarakat. Konsumsi pangan
merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan gizi dan menyediakan energi
bagi tubuh, proses metabolisme, memperbaiki jaringan tubuh serta untuk
pertumbuhan.
Konsumsi, jumlah dan jenis pangan dipengaruhi oleh faktor-faktor: jenis
pangan, jumlah / produksi pangan dan ketersediaan pangan. Tingkat konsumsi
lebih banyak ditentukan oleh kualitas dan kuantitas bahan pangan. Kualitas
pangan mencerminkan zat gizi esensial yang terdapat dalam bahan pangan,
sedangkan kuantitas pangan mencerminkan jumlah setiap gizi dalam suatu bahan
pangan. Untuk mencapai keadaan gizi yang baik, maka unsur kualitas dan
kuantitas harus dapat terpenuhi.
Salah satu strategi penyediaan pangan dalam rumahtangga pedesaan di
Kabupaten Ponorogo adalah memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki rumahtangga,
khususnya rumahtangga miskin adalah pemanfaatan waktu dari masing-masing
anggota keluarga pada kegiatan publik dan domestik yang dapat menghasilkan
income. Tingkat partisipasi kerja isteri untuk kegiatan publik cukup besar,
dapat mencapai hampir setengah dari tingkat partisipasi suami. Hal ini
mencerminkan bahwa isteri merupakan pencari nafkah tambahan untuk rumahtangga sangat
menentukan dalam memenuhi kebutuhan kecukupan pangan rumahtangga. Selain isteri
ikut berpartisipasi dalam kegiatan publik, anak laki-laki dan anak perempuan kadangkala
juga ikut berpartisipasi dengan tingkat tingkat partisipasi yang sangat beragam.
II. KETAHANAN DAN KECUKUPAN PANGAN
Definisi Ketahanan-Pangan menurut
Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996 adalah “kondisi terpenuhinya
kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan
secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau”.
Konsep ketahanan pangan tersebut paling tidak melingkupi lima unsur pokok,
yaitu: (1) berorientasi pada kebutuhan rumah tangga dan individu; (2) Setiap
saat bahan pangan tersedia dan dapat diakses; (3) mengutamakan aksesibilitas pangan bagi rumah
tangga dan individu; baik secara fisik, maupun sosial-ekonomi; (4) bertujuan pada pemenuhan kebutuhan gizi
secara aman; (5) sasaran akhir adalah hidup sehat dan produktif.
Indikator terpenuhinya kebutuhan pangan rumah tangga a.l. (1) tersedianya
pangan secara cukup, kuantitas dan kualitasnya; (2) aman (dan halal); (3)
merata (menurut ruang dan waktu); dan (4) terjangkau oleh individu dan/atau
rumaghtangga.
Upaya mewujudkan ketahanan pangan minimal harus melingkupi empat aspek
berikut:
a. Penyediaan pangan dalam jumlah
yang cukup, ketersediaan pangan dalam arti luas, meliputi bahan pangan nabati dan
hewani / ikani untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat, protein, lemak, vitamin
dan mineral beserta derivatifnya, yang bermanfaat bagi kesehatan manusia.
b. Pemenuhan pangan dengan kondisi yang aman, bebas dari cemaran biologis,
kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan
kesehatan manusia, serta baik dan halal.
c. Penyediaan pangan dengan kondisi yang merata, dalam arti pangan yang
harus tersedia menurut dimensi waktu dan ruang.
d. Penyediaan pangan yang dapat dijangkau, bahan pangan mudah diperoleh
rumah tangga dan / atau dengan harga yang terjangkau.
Konsep ketahanan-pangan lazimnya
melingkupi lima konsep utama, yaitu:
(1). Ketersediaan Pangan (food availability) : yaitu ketersediaan pangan dalam jumlah
yang cukup aman dan bergizi untuk semua orang dalam suatu negara baik yang
berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan maupun bantuan pangan.
Ketersediaan pangan ini harus mampu mencukupi pangan yang didefinisikan sebagai
jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat.
(2). Akses pangan (food access) : yaitu kemampuan
semua rumah tangga dan individu dengan sumberdaya yang dimilikinya untuk
memperoleh pangan yang cukup untuk kebutuhan gizinya yang dapat diperoleh dari
produksi pangannya sendiri, pembelian ataupun melalui bantuan pangan. Akses
rumah tangga dan individu terdiri dari akses ekonomi, fisik dan sosial. Akses
ekonomi tergantung pada pendapatan, kesempatan kerja dan harga. Akses fisik
menyangkut tingkat isolasi daerah (sarana dan prasarana distribusi), sedangkan
akses sosial menyangkut tentang preferensi pangan.
(3). Penyerapan pangan (food utilization) yaitu
penggunaan pangan untuk kebutuhan hidup sehat yang meliputi kebutuhan energi
dan gizi, air dan kesehatan lingkungan. Efektifitas dari penyerapan pangan
tergantung pada pengetahuan rumahtangga/individu, sanitasi dan ketersediaan
air, fasilitas dan layanan kesehatan, serta penyuluhan gisi dan pemeliharaan
balita.
(4). Stabilitas
pangan (food stability) merupakan dimensi waktu
dari ketahanan pangan yang terbagi dalam kerawanan pangan kronis (chronic food
insecurity) dan kerawanan pangan sementara (transitory food insecurity).
Kerawanan pangan kronis adalah ketidak mampuan untuk memperoleh kebutuhan
pangan setiap saat, sedangkan kerawanan pangan sementara adalah kerawanan
pangan yang terjadi secara sementara yang diakibatkan karena masalah kekeringan
banjir, bencana, maupun konflik sosial.
(5). Status gizi (Nutritional status ) adalah outcome ketahanan pangan yang merupakan
cerminan dari kualitas hidup seseorang. Umumnya satus gizi ini diukur dengan angka harapan hidup, tingkat gizi
balita dan kematian bayi.
Di Indonesia, kebijakan ketahanan pangan meliputi empat aspek, yaitu: (i)
ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup bagi seluruh penduduk,
(ii) distribusi pangan yang lancar dan merata (menurut dimensi ruang dan waktu),
(iii) konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi dan
kesehatan, dan (iv) status gizi dan kesehatan masyarakat.
2.1. Food
Security dan Food Adequacy
Ketahanan
pangan merupakan suatu wujud dimana masyarakat mempunyai pangan yang cukup di
tingat wilayah dan juga di masing-masing rumah tangga, serta mampu mengakses
pangan dengan cukup untuk semua anggota kelaurganya, sehingga mereka dapat
hidup sehat dan bekerja secara produktif. Ada dua prinsip yang
terkandung dalam ketahanan pangan, yaitu tersedianya pangan yang cukup dan kemampuan
rumah tangga untuk mengakses pangan.
Rumah tangga dalam konteks ini
adalah semua rumah tangga masyarakat baik rumah tangga petani dan maupun
rumahtangga non-petani. Ketahanan pangan mensyaratkan bahwa setiap rumah tangga
dapat mengkonsumsi pangan secara cukup. Standar kecukupan dalam
mengkonsumsi sekitar 2000 kalori dan ketersediaan 2.500 kalori. Standar
kecukupan pangan dinyatakan dalam satuan kalori dan protein (akan terus
direvisi standarnya); sedangkan pola pangan harapan merupakan kombinasi
konsumsi (kalau dinilai dengan skor 100 berarti sudah cukup beragam dalam
mengkonsumsi) bahan-bahan sumber karbohidrat, protein, vitamin, mineral, dst.
Prinsip utama dalam
membangun ketahanan pangan adalah bertumpu pada kemampuan sumberdaya, budaya
dan kelembagaan lokal. Pangan sedapat mungkin dihasilkan oleh produksi
sumberdaya sendiri. Pembangunan pertanian diupayakan sedemikian rupa sehingga
memenuhi persyaratan keberkelanjutannya, dengan demikian kapabilitas sumberdaya
alam harus dijaga kelestariannya. Dalam hubungan ini upaya pemberdayaan
masyarakat menjadi sangat penting. Prinsip utama dalam pemberdayaan ini adalah
memfasilitasi masyarakat untuk membangun pertanian secara berkelanjutan dan memberikan
pendapatan yang layak, memberikan perlindungan dari persaingan yang tidak adil
dengan barang-barang dari pasar bebas.
Food adequacy can be defined as physical and
economic access to sufficient, safe and nutritious foods which meet the
individual’s dietary needs and food preferences for an active and healthy
life. There are three key dimensions to household food adequacy (food
security): food availability, food access, and utilization of food by the body.
2.2. Kecukupan Pangan,
Sandang dan Energi Rumah-Tangga
Empat kondisi
utama dalam konteks pemenuhan ketahanan pangan adalah (1) kecukupan pangan; (2)
stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari
tahun ke tahun; (3) aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta ; dan
(4) kualitas/keamanan pangan (baik dan halal). Keempat komponen ini dapat digunakan
untuk mengukur ketahanan dan kecukupan pangan di tingkat rumah tangga. Keempat
indikator ini merupakan indikator utama untuk mendapatkan indeks ketahanan
pangan. Ukuran ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dapat dihitung dengan
cara menggabungkan keempat indikator tersebut, untuk mendapatkan satu indeks
ketahanan pangan.
2.2.1. Ketersediaan Pangan
Ketersediaan
pangan dalam rumah tangga yang dipakai dalam pengukuran mengacu pada pangan
yang cukup dan tersedia dalam jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi
rumah tangga. Penentuan jangka waktu ketersediaan pangan di pedesaan biasanya
mempertimbangkan jarak waktu antara musim tanam dengan musim tanam berikutnya.
Perbedaan jenis makanan pokok yang dikomsumsi masyarakat berimplikasi pada
penggunaan ukuran yang berbeda, misalnya:
(a)
Di
daerah yang masyarakatnya mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok, dapat
digunakan nilai 240 hari sebagai batas untuk menentukan apakah suatu rumah
tangga memiliki persediaan makanan pokok cukup/tidak cukup. Penetapan niulai ini
didasarkan pada panen padi yang dapat dilakukan selama tiga kali dalam dua
tahun.
(b)
Di
daerah yang masyarakatnya mengkonsumsi jagung sebagai makanan pokok, dapat
digunakan batas waktu selama 365 hari sebagai ukuran untuk menentukan apakan
rumah tangga mempunyai ketersediaan pangan cukup/tidak cukup. Hal ini
didasarkan pada masa panen jagung satu kali dalam setahun.
Ukuran
ketersediaan pangan yang mengacu pada jangka waktu antara satu musim panen
dengan musim panen berikutnya hanya berlaku pada rumah tangga dengan sektor
pertanian sebagai sumber mata pencaharian pokok (on farm dan off farm). Dengan
kata lain, ukuran ketersediaan makanan pokok tersebut memiliki kelemahan jika
diterapkan pada rumah tangga yang memiliki sumber penghasilan dari sektor
non-pertanian (non farm).
Ketersediaan
pangan dapat diukur dengan menggunakan setara beras sebagai makanan pokok:
·
Jika
persediaan pangan rumah tangga mencukupi selama ≥ 240 hari, berarti pesediaan
pangan rumah tangga cukup
·
Jika
persediaan pangan rumah tangga hanya mencukupi selama 1 – 239 hari, berarti
pesediaan pangan rumah tangga kurang cukup
·
Jika
rumah tangga tidak punya persediaan pangan, berarti pesediaan pangan rumah
tangga tidak cukup.
Ketersediaan
pangan dapat diukur dengan menggunakan setara jagung sebagai makanan pokok:
·
Jika
persediaan pangan (jagung) rumah tangga dapat meliputi kurun waktu ≥ 365 hari,
berarti pesediaan pangan rumah tangga cukup
·
Jika
persediaan pangan (jagung) rumah tangga hanya mencapuk waktu antara 1-364 hari,
berarti pesediaan pangan rumah tangga kurang cukup
·
Jika
rumah tangga tidak punya persediaan pangan (jagung), berarti pesediaan pangan
rumah tangga tidak cukup.
2.2.2. Stabilitas Ketersediaan Pangan
Stabilitas ketersediaan pangan di tingkat
rumah tangga diukur berdasarkan kecukupan ketersediaan pangan dan frekuensi
makan anggota rumah tangga dalam waktu satu hari. Satu rumah tangga dikatakan
memiliki ketersediaan pangan yang stabil jika mempunyai persediaan pangan dalam
waktu lebih dari masa cutting point (misalnya 240 hari atau 365 hari)
dan anggota rumah tangga dapat makan tiga kali sehari sesuai dengan pola kebiasaan
makan setempat.
Dengan asumsi
bahwa di daerah tertentu masyarakat mempunyai kebiasaan makan 3 (tiga) kali
sehari, maka frekuensi makan dalam sehari dapat menjadi indikator keberlanjutan
ketersediaan pangan dalam rumah tangga. Salah satu cara untuk mempertahankan
ketersediaan pangan dalam jangka waktu tertentu adalah dengan mengurangi
frekuensi makan atau diversifikasi bahan makanan pokok (misalnya beras dengan jagung
atau ubikayu). Mengurangi frekuensi makan dalam sehari merupakan salah satu
strategi rumah tangga untuk memperpanjang ketahanan pangannya.
Penggunaan
frekuensi makan sebanyak tiga kali dalam sehari sebagai indikator kecukupan
makan didasarkan pada kondisi nyata di pedesaan, dimana rumah tangga yang
memiliki persediaan makanan pokok ‘cukup’ pada umumnya makan sebanyak tiga kali
dalam sehari. Jika mayoritas rumah tangga di satu desa, hanya makan dua kali setiap hari, kondisi ini
semata-mata merupakan suatu strategi rumah tangga agar persediaan makanan pokok
mereka tidak segera habis, karena dengan frekuensi makan tiga kali sehari, mungkin
rumah tangga tidak dapat bertahan untuk tetap memiliki persediaan makanan pokok
hingga musim panen berikutnya.
2.2.3. Aksesibilitas Pangan
Indikator
aksesibilitas (keterjangkauan) dalam pengukuran kecukupan pangan di tingkat
rumah tangga dilihat dari kemudahan rumahtangga memperoleh pangan, yang diukur
dari indikator pemilikan lahan pertanian, dan cara rumah tangga untuk
memperoleh pangan. Akses yang diukur berdasarkan pemilikan lahan dapat dikelompokkan
dalam 2 (dua) kategori:
· Akses langsung (direct access), jika rumah tangga memiliki lahan usaha pertanian
· Akses tidak langsung (indirect access) jika rumah tangga tidak memiliki lahan usaha
pertanian.
Hasil pengukuran
indikator aksesibilitas ini digabungkan dengan indikator stabilitas ketersedian
pangan, untuk menduga indikator kontinyuitas ketersediaan pangan. Indikator kontinyuitas
ketersediaan pangan ini menunjukkan suatu rumah tangga apakah:
·
Mempunyai persediaan pangan kontinyu
·
Mempunyai persediaan pangan kurang kontinyu
·
Mempunyai persediaan pangan tidak kontinyu.
Indikator kontinyuitas ketersediaan pangan di tingkat rumah
tangga dapat disajikan berikut ini.
Akses terhadap
pangan
|
Stabilitas ketersediaan pangan rumah tangga
|
||
Stabil
|
Kurang stabil
|
Tidak stabil
|
|
Akses langsung
|
Kontinyu
|
Kurang kontinyu
|
Tidakkontinyu
|
Akses tidak
langsung
|
Kurang kontinyu
|
Tidak kontinyu
|
Tidak kontinyu
|
Sumber: Tim penelitian Ketahanan
pangan dan kemiskinan dalam konteks demografi Puslit Kependudukan –LIPI.
2.2.4. Kualitas
(Keamanan) pangan
Kualitas jenis pangan yang dikonsumsi dapat diukur dengan
nilai gizinya. Ukuran kualitas pangan seperti ini sangat sulit dilakukan karena
melibatkan berbagai macam jenis makanan dengan kandungan gizi yang berbeda-beda.
Sehingga ukuran keamanan pangan hanya dapat dilihat dari ‘ada’ atau ‘tidak’nya
bahan makanan yang mengandung protein hewani dan/atau nabati yang dikonsumsi
dalam rumah tangga. Oleh karena itu, ukuran kualitas pangan dapat didekati dari
data pengeluaran untuk konsumsi lauk-pauk yang mengandung protein hewani
dan/atau nabati. Berdasarkan kriteria ini rumah tangga dapat dikelompokkan menjadi:
Rumah tangga dengan kualitas pangan
baik adalah rumah tangga yang memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk berupa
protein hewani dan nabati atau protein hewani saja.
Rumah tangga dengan kualitas pangan
kurang baik adalah rumah tangga yang memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk
berupa protein nabati saja.
Rumah tangga dengan kualitas pangan
tidak baik adalah rumah tangga yang tidak memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk
berupa protein baik hewani maupun nabati.
2.2.5. Indeks Ketahanan
Pangan
Indeks ketahanan pangan dihitung dengan cara
mengkombinasikan keempat indikator ketahanan pangan (ketersediaan pangan,
stabilitas ketersediaan pangan, Kontinyuitas/keberlanjutan dan
kualitas/keamanan pangan) Kombinasi antara kecukupan ketersediaan pangan dan
frekuensi makan memberikan indikator stabilitas ketersediaan pangan.
Selanjutnya kombinasi antara stabilitas ketersediaan pangan dengan akses
terhadap pangan memberikan indikator kontinyuitas ketersediaan pangan. Indeks
ketahanan pangan diukur berdasarkan gabungan antara indikator kontinyuitas
ketersediaan pangan dengan kualitas /keamanan pangan.
Indeks ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dapat
disajikan seperti berikut ini.
Kontinyuitas
ketersediaan pangan
|
Kualitas pangan: Konsumsi protein hewani dan/atau nabati
|
||
Protein hewani dan nabati ; atau protein hewani saja
|
Protein nabati saja
|
Tidak ada konsumsi protein (hewani dan /atau nabati)
|
|
Kontinyu
|
Tahan
|
Kurang
tahan
|
Tidak
tahan
|
Kurang kontinyu
|
Kurang
tahan
|
Tidak
tahan
|
Tidak
tahan
|
Tidak kontinyu
|
Tidak
tahan
|
Tidak
tahan
|
Tidak
tahan
|
Sumber: Tim penelitian Ketahanan
pangan dan kemiskinan dalam konteks demografi Puslit Kependudukan –LIPI.
Rumah tangga dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
Rumah tangga tahan pangan adalah
rumah tangga yang memiliki persedian pangan pokok secara kontinyu (diukur dari
persediaan makan selama jangka masa satu musim panen hingga panen berikutnya
dengan frekuensi makan 3 kali atau lebih per hari serta akses langsung) dan
memiliki pengeluaran untuk protein hewani dan nabati atau protein hewani saja
Rumah tangga kurang tahan pangan
adalah rumah tangga yang memiliki:
-
Kontinyuitas pangan/makanan pokok kontinyu,
tetapi hanya mempunyai pengeluaran untuk protein nabati saja
-
Kontinyuitas ketersediaan pangan/makanan kurang
kontinyu dan mempunyai pengeluaran untuk protein hewani dan nabati
Rumah tangga tidak tahan pangan
adalah rumah tangga yang dicirikan oleh:
-
Ketersediaan pangan kontinyu, tetapi tidak
memiliki pengeluaran untuk protein hewani maupun nabati
-
Ketersediaan pangan kurang kontinyu dan hanya
memiliki pengeluaran untuk protein hewani atau nabati, atau tidak untuk
kedua-duanya.
-
Ketersediaan pangan tidak kontinyu walaupun
memiliki pengeluaran untuk protein hewani dan nabati
-
Ketersediaan pangan tidak kontinyu dan hanya
memiliki pengeluaran untuk protein nabati saja, atau tidak untuk kedua-duanya.
2.3. Konsep
Desa Mandiri Pangan: MAPAN
Strategi perencanaan “Desa Mandiri Pangan”
dapat ditempuh dalam beberapa tahapan. Pada tahapan kultural, perlu adanya
penjelasan secara berkesinambungan tentang arti pentingnya kecukupan pangan.
Dalam konteks ini, status kehormatan bagi petani atau pedagang tidak dipandang sebagai
kelas sosial yang rendah, melainkan mereka sama hormatnya dengan warga
masyarakat lain yang telah memberi sumbangan bermakna bagi masyarakatnya.
Dengan penghormatan seperti itu, mereka tidak lagi mengukur segala aktivitasnya
hanya pada pertimbangan ekonomi. Jadi, perlu ada perubahan paradigmatik yaitu
kehormatan manusia diukur dari sumbangsihnya bukan pada status sosialnya.
Tahapan ke dua ialah tahapan-sosial, di
mana suatu aktivitas yang bermakna, baru akan memperoleh hasil yang optimal
kalau tercipta sinergi di antara potensi-potensi yang ada. Dalam konteks ini,
simpul-simpul sosial seperti para tokoh agama, tokoh masyarakat, dan
tokoh-tokoh di bidang profesinya masing-masing, dijadikan aktor-aktor penting
untuk memikirkan secara bersama bagaimana mewujudkan kecukupan pangan. Proses seperti
ini melibatkan banyak pihak guna mengubah ide-ide personal menjadi ide
kolektif. Apabila konsep tentang “kecukupan pangan” telah menjadi ide kolektif,
maka prinsip yang harus dianut ialah “semuanya mendapat untung” sesuai dengan
kuantitas dan kualitas sumbang-sih nya.
Tahapan ke tiga adalah level action, tokoh-tokoh dan para aktivis desa diajak untuk
membiasakan aktivitas dengan mengawali perencanaan yang matang sesuai dengan
kemampuan bernalar (lintas sektoral), daya tahan mental (misalnya tahan kritik,
mudah menerima masukan, dsb), dengan kerangka analisis yang elevan.
2.3.1. Lumbung di Desa Mandiri Pangan
Dalam program pengembangan
Desa Mandiri Pangan (DMP), Desa mendapatkan dana bantuan sosial (bansos) untuk
mengembangkan lumbung pangan non komersial. Warga desa dapat meminjam pangan di
lumbung desa tersebut. Ada
tiga kegiatan yang dapat menggunakan dana bansos untuk Desa Mandiri Pangan.
Pertama, dana bansos untuk kegiatan
simpan pinjam. Pinjaman dapat digunakan untuk beragam kegiatan apapun. Misalnya
untuk pengobatan keluarga sakit, keperluan anak sekolah, maupun untuk
mengembangkan pertanian di desa. Ke dua, dana bansos tersebut dapat digunakan
untuk kegiatan produktif usaha kecil pertanian. Ke tiga, untuk pengembangan
lumbung pangan masyarakat non komersial di desa. Lumbung pangan desa diharapkan
dapat menciptakan kemandirian pangan masyarakat perdesaan. Masyarakat dapat
meminjam pangan yang tersimpan di lumbung itu, pada musim paceklik atau tidak
punya pangan. Anggota masyarakat yang meminjam harus mengembalikan pada saat panen
dengan tambahan yang disepakati.
2.4. Konsep
Desa Mandiri Energi
Desa mandiri energi adalah konsep baru
yang sedang dikembangkan di Indonesia. Desa diharapkan dapat mencukupi kebutuhan
energinya sendiri tanpa harus bergantung terhadap BBM dan bahan energi yang tak
terbarukan lainnya. Pengembangan desa mandiri energi merupakan usaha menuju
swasembada energi dalam arti mencukupi kebutuhan energi di desa itu, tanpa
harus mengimpor sumber energi dari luar.
Desa mandiri energi adalah desa yang mampu
memanfaatkan bahan sumber energi (misalnya minyak jarak) untuk keperluan
sehari-hari seperti memasak dan kegiatan lain di rumah tangga, sebagai
pengganti BBM. Energi terbarukan (renewable energy) harus dapat dimanfaatkan
dalam pengusahaan swasembada energi, salah satu syarat renewable
adalah keberlanjutan, regional development, dan ramah lingkungan. Keberlanjutan
berarti bahwa energi ini dapat dimanfaatkan secara terus menerus tanpa batas waktu,
artinya generasi sekarang dan generasi yang akan datang dapat menikmatinya
tanpa kecuali (sesuai dengan definisi keberlanjutan dari Bruntland
Commision). Sedangkan regional development itu merupakan
pembangunan yang bersifat regional yaitu dengan mengembangkan usaha yang sesuai
dengan kemampuan daerah untuk memenuhi kebutuhan daerah tersebut tanpa harus
bergantung dengan daerah lain. Konsep Desa mandiri energi ini sejalan dengan
usaha pengembangan renewable energy yang saat ini sedang dikaji di penjuru
dunia.
Konsep Desa mandiri energi ini sesuai dengan
kondisi geografi Indonesia, masyarakatnya terpencar di desa-desa yang tidak
dapat mengakses pusat-pusat energi, seperti tidak adanya sambungan listrik,
tidak ada jaringan distribusi BBM. Dalam Desa mandiri energi, masyarakat dapat
memenuhi kebutuhan energinya sendiri tanpa harus membayar biaya transportasi
yang tinggi dan dapat dialihkan sebagai opportunity cost untuk
memproduksi energi sendiri. Dalam hal ini budidaya tanaman jarak sebagai bahan
baku pembuatan minyak jarak atau penamanan tanaman kayu bakar. Opportunity
cost yang berputar di lingkungan masyarakat desa sendiri memberikan
manfaat berlipat ganda (multiplier effect). Selain meningkatkan
kemandirian masyarakat terhadap energi, kesejahteraan masyarakat juga akan
meningkat karena uang akan berputar di lingkup desa tersebut dengan menciptakan
lapangan kerja baru yang pada akhirnya menggerakkan roda perekonomian desa
secara keseluruhan.
Untuk mendukung konsep
Desa mandiri energi diperlukan juga perangkat, peraturan, dan dukungan
finansial yang memberikan kemudahan bagi pengembangan Desa mandiri energi. Selain
itu perlu juga diwaspadai efek negatif yang mungkin timbul dari pengembangan
BBN (bahan bakar nabati) karena program BBN dikhawatirkan dapat merusak
lingkungan hidup, misalnya pembukaan hutan untuk lahan budidaya tanaman.
Ada dua tipe Desa Mandiri
Energi, yaitu (1) Desa Mandiri Energi yang dikembangkan dengan non BBM seperti
desa yang menggunakan mikrohidro, tenaga surya, dan biogas; dan (2) Desa
Mandiri Energi yang menggunakan bahan bakar nabati atau biofuel arau agrofuels.
Melalui pengembangan Desa Mandiri Pangan diharapkan
masyarakat desa rawan pangan akan kembali mempunyai kemampuan untuk mewujudkan
ketahanan pangan dan gizi, sehingga dapat menjalani hidup sehat dan produktif
setiap harinya. Upaya tersebut dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat untuk
mengenali potensi dan kemampuannya, mencari alternative peluang dan pemecahan
masalah serta mampu mengambil keputusan untuk memanfaatkan sumberdaya alam
secara efisien dan berkelanjutan, dan akhirnya tercapai kemandirian pangan
masyarakat.
Tujuan program pengembangan Desa Mandiri Pangan
adalah untuk meningkatkan Ketahanan Pangan dan Gizi (mengurangi kerawanan
pangan dan gizi) masyarakat melalui pendayagunaan sumber daya, kelembagaan dan
budaya lokal di pedesaan. Sedangkan sasarannya adalah terwujudnya ketahanan
pangan dan gizi tingkat desa yang ditandai dengan berkurangnya tingkat
kerawanan pangan dan gizi.
Dalam pelaksanaannya, Program pengembangan Desa
Mandiri Pangan difasilitasi antara lain: pembangunan instruktur, pendampingan
dalam bidang manajemen kelompok dan usaha serta teknis, bantuan permodalan,
sarana dan prasarana fisik, tenaga kerja, dan teknologi.
Berbagai masukan ini digunakan untuk mendukung kegiatan-kegiatan yang
dilaksanakan seperti pemberdayaan masyarakat (pendampingan, pelatihan,
fasilitasi dan penguatan kelembagaan), harmonisasi system ketahanan pangan dan
pengembangan keamanan pangan, antisipasi dan penanggulangan kerawanan pangan.
Strategi yang digunakan dalam pelaksanaan program
desa mandiri pangan antara lain melalui: (a) penerapan prinsip pemberdayaan
masyarakat, dengan meningkatkan kapasitas masyarakat untuk menolong dirinya
sendiri; (b) penguatan kelembagaan pedesaan dalam membangun ketahanan pangan
dan gizi, peningkatan pendapatan, akses dan konsumsi pangan beragam dan bergizi
seimbang, sanitasi lingkungan serta antisipasi situasi darurat; (c).
optimalisasi pemanfaatan sumber daya dengan dukungan multi sektor dan multi
disiplin; (d) sinergitas antar stakeholder yang diwujudkan melalui peningkatan
kemampuan Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten dalam bekerjasama dengan stakeholder
lain dan memfasilitasi Tim Pangan di tingkat desa.
III.
SISTEM RUMAH-TANGGA PETANI
Household -farm models were
first introduced to explain the counter-intuitive empirical finding that an
increase in the price of a staple did not significantly raise the marketed
surplus in the rural sector. The search for an explanation led to a model in
which production and consumption decisions are linked because the deciding
entity is both a producer, choosing the allocation of labor and other inputs to
crop-production, and a consumer, choosing the allocation of income from farm
profits and labor sales to the consumption of commodities and services. Farm
profit included implicit profits from goods produced and consumed by the same
household, and consumption included both purchased and self-produced goods. As
long as perfect markets for all goods, including labor, exist, the household is
indifferent between consuming own-produced and market-purchased goods. By
consuming all or part of its own output, which could alternatively be sold at a
given market price, the household implicitly purchases goods from itself. By
demanding leisure or allocating its time to household production activities, it
implicitly buys time, valued at the market wage, from itself. This model
applies to all but agribusiness-operated commercial farms, which consume a very
small share, if any, of their own output and supply few, if any, of their own
inputs.
3.1.
Sistem Rumahtangga Petani
Perilaku ekonomi rumahtangga petani dapat diabstraksikan
sbb:
(1) the net-surplus producing family farm, typical of small
owner-operated farms of medium productivity;
(2) the subsistence and sub-subsistence household farm,
typical of small-scale, low productivity agriculture, frequently operating
under marginal conditions and incomplete markets;
(3) small-scale
renter and share-cropper farms; and
(4) the
owner-operated commercial farms producing food for both domestic consumption
and agro-industry and export markets.
3.2. Rumahtangga Petani Subsisten
Pertanian subsisten ditandai oleh
ketiadaan akses terhadap pasar. Dengan kata lain produk pertanian yang
dihasilkan hanya untuk memenuhi konsumsi keluarga, tidak dijual.
Sistem
produksi pertanian Subsisten
For
the subsistence-oriented household, land and labour are the principal factors
of production. Capital investment is limited to non-monetary self-produced
equipment, land improvement and livestock raised through natural reproduction.
Increases in production are mainly dependent on the weather and on the quantity
and quality of those factors of production controlled by the household.
Beberapa
contoh kegiatan adalah:
· Menggunakan kelebihan tenagakerja untuk kegiatan
konservasi
· Menggunakan pupuk kandang untuk kesuburan tanah
· Memelihara ternak dengan lebih baik.
Families
living under these conditions rarely aim to maximise profit, since this would
imply specialisation, with its attendant risks. Rather, the goal is to maximise
the chances of survival. A mainly subsistence-oriented farmer will be reluctant
to shift from a traditional practice to a new technology if doing so incurs
greater risk of failure
Dalam konteks seperti di atas, pertanian bukan hanya berkenaan dengan hal-hal
teknis budidaya bertani, melainkan sebuah kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Karakteristik
pertanian “tradisional” saat ini adalah “sistem pertanian” yang berlahan sempit, bermodal rendah, minim
teknologi, jumah tenaga kerja yang banyak, dan merupakan satu-satunya penopang
hidup bagi rumahtangga petani. Sistem pertanian tradisional seperti inilah yang
diberi sebutan “subsisten”, atau Subsistensi Pertanian. Bagaimana pertanian “dijalankan”
untuk memenuhi kebutuhan kecukupan pangan rumahtangga terlebih dahulu, sebagai
bentuk pengamanan untuk ketahanan pangan bagi rumahtangga petani.
Subsistensi pertanian dapat dilakukan pada “sistem pertanian
organik”. Pertanian organik bukan hanya pada tingkat higienisitasnya saja,
melainkan lebih bermakna “harmonisasi sistem”. Harmonis dalam kehidupan sosial
ekonomi, dan siklus materi dan siklus energi yang terjadi di alam. Sistem pertanian
organik menawarkan sesuatu yang berbeda dengan pertanian-industrial, namun
harus hati-hati karena saat ini pertanian organik sendiri telah mengarah pada “komersialisasi”
dan bukan pada spirit dasarnya yaitu kebersaman dan kemerataan bagi semua
makhluk. Subsistensi dipilih sebagai alternatif solusi dalam pengembangan
pertanian di Indonesia
yang sebagain besar merupakan pertanian tradisional berskala kecil.
Makna “subsisten” yang ditawarkan adalah “mengubah
paradigma pasar yang diberlakukan pada dunia pertanian”. Pada kenyataannya, pertanian
Indonesia
sangat sulit untuk bersaing dengan produk-produk pertanian negara-negara maju. Hal
ini mungkin saja berkaitan dengan keterbatasan penguasaan modal oleh petani,
teknologi yang rendah, rendahnya proteksi negara, skill yang minim, lahan yang
sempit, jumlah tenaga kerja yang besar, dan masalah-masalah lainnya; dan ini semua
merupakan karakter pertanian tradisional berskala kecil di Indonesia. Semua hal
tersebut akan menjadi masalah jika analisis pertanian mengacu pada paradigma
pasar.
Pada hakekat awal berkembangnya pertanian adalah untuk
mencukupi kebutuhan pangan rumahtangga atau sekelompok masyarakat. Artinya prioritas
pemenuhan kebutuhan pangan rumahtangga dengan kualitas yang terbaik merupakan
hal yang paling penting. Dalam perkembangannya pertanian dipaksa untuk memacu
produktivitasnya setinggi-tingginya dengan jumlah panen yang besar kemudian
dijual ke pasar dengan asumsi mendapat untung dan dapat menghidupi keluarga
petani yang melakukan usaha peningkatan produktivitas tersebut. Akan tetapi,
pada kenyataannya pernahkah petani, khususnya petani kecil, yang melakukan pola
ini mendapat untung seperti yang dibayangkan? Selain itu, dampak sampingan dari
pola ini adalah pemenuhan kebutuhan pangan untuk rumahtangga sendiri menjadi
tersingkirkan dan tergantikan oleh pengejaran profit semata.
”Subsistensi” dicoba dihadirkan untuk menggantikan
logika pasar dalam pertanian. Logika subsisten bukan menempatkan keuntungan
sebagai hal yang utama, tetapi pemenuhan terhadap kebutuhan diri sendiri yang
utama. Inilah logika survivalitas dalam suasana ketidak-berdayaan pertanian.
Jika seorang petani hanya memiliki luas lahan 2000 m2
dengan rata-rata hasil panen padi 1,2 – 1,5 ton, maka dari mana petani tersebut
bisa menghidupi seorang istri dan dua orang anaknya di zaman yang serba mahal
ini? Oleh sebab itu, petani tersebut harus mulai memikirkan pemenuhan kebutuhan
pangannya dengan meminimkan transaksi pembelian pangan, namun semua kebutuhan
pangan dipenuhi oleh lahan tersebut. Jika ada kelebihan produksi baru dijual. Hal
ini mengharuskan penanaman berbagai jenis komoditas (kaidah biodiversitas), dan
bukan satu jenis komoditas yang diorientasikan untuk memaksimumkan profit. Di
samping itu juga, penanaman berbagai komoditas tanaman bahan makanan tidak
hanya menguntungkan secara ekonomis namun juga ekologis.
Logika ”subsisten” ini sangat mungkin
diimplementasikan dalam sistem pertanian organik. Dalam sistem ini biaya
produksi dapat diminimumkan karena tidak harus membeli banyak ”input
komersial”. Kebutuhan modal usaha tidak besar, sehingga akan dapat dipenuhi
oleh petani kecil. Pertanian organik menyerap tanaga kerja yang lebih besar
dibanding dengan pertanian bergaya “modern” yang memperhitungkan efesiensi dan
efektivitas. Penyerapan tenaga-kerja dalam pertanian organik cukup besar, dan
dapat dikelola secara gotong-royong per kelompok. Tenaga-kerja petani yang
bergotong royong tidak harus dikonversikan dalam bentuk uang, melainkan saling
bantu membantu atau saling berkontribusi dalam bentuk tenaga dan waktu.
Sehingga titik acuannya tidak lagi uang atau modal yang besar. Teknologi yang
diterapkan merupakan teknologi sederhana dan tepat guna yang dapat
diaplikasikan oleh petani kecil.
3.3. Rumahtangga
Pertanian Komersial
Pertanian komersial berada pada sisi
dikotomis pertanian subsisten. Umumnya pertanian komersial menjadi karakter
perusahaan pertanian (farm) dimana pengelola usahatani telah
berorientasi pasar. Dengan demikian seluruh output pertanian yang dihasilkan
seluruhnya dijual dan tidak dikonsumsi sendiri.
Kebanyakan usaha
pertanian modern bersifat komersial. Usaha pertanian ini menggunakan pupuk-buatan
yang banyak sekali, obat pembasmi hama ,
dan varietas benih yang produksi-tinggi. Umumnya juga digunakan mesin-mesin pertanian
berukuran besar seperti traktor dan alat pemanen.
3.4. Ketahanan Pangan rumahtangga
Pertanian
Empat komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi
ketahanan pangan rumahtangga adalah:
1.
Kecukupan ketersediaan pangan bagi rumahtangga;
2.
Stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi
dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun.
3.
Aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan
serta
4.
Kualitas/keamanan pangan .
Ketersediaan pangan dalam rumah tangga dapat
mengacu pada pangan yang cukup dan tersedia dalam jumlah yang dapat memenuhi
kebutuhan konsumsi rumah tangga. Penentuan jangka waktu ketersediaan makanan
pokok di perdesaan biasanya mempertimbangkan jarak-waktu antara musim panen dengan
musim panen berikutnya. Sustainabilitas mengandung makna kecukupan ketersediaan
pangan dalam jangka panjang.
3.4.1. Kecukupan
Pangan (Food Adequacy)
Food adequacy
is defined as physical and economic access to sufficient, safe and nutritious
foods which meet the individual’s dietary needs and food preferences for an
active and healthy life.
Konsumsi pangan
merupakan banyaknya atau jumlah pangan, secara tunggal maupun beragam, yang
dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis. Tujuan fisiologis adalah upaya
untuk memenuhi keinginan makan (rasa lapar) atau untuk memperoleh zat-zat gizi
yang diperlukan tubuh. Tujuan psikologis adalah untuk memenuhi kepuasan
emosional atau selera, sedangkan tujuan sosiologis adalah untuk memelihara
hubungan manusia dalam keluarga dan masyarakat. Konsumsi pangan merupakan
faktor utama untuk memenuhi kebutuhan gizi yang selanjutnya bertindak
menyediakan energi bagi tubuh, proses metabolisme, memperbaiki jaringan tubuh
serta untuk pertumbuhan.
Konsumsi, jumlah dan
jenis pangan dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang sangat
mempengaruhi konsumsi pangan adalah jenis, jumlah produksi dan ketersediaan
pangan. Untuk
tingkat konsumsi, lebih banyak ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pangan
yang dikonsumsi. Kualitas pangan mencerminkan adanya zat gizi yang dibutuhkan
oleh tubuh yang terdapat dalam bahan pangan, sedangkan kuantitas pangan
mencerminkan jumlah setiap gizi dalam suatu bahan pangan. Untuk mencapai
keadaan gizi yang baik, maka unsur kualitas dan kuantitas harus dapat
terpenuhi. Apabila tubuh kekurangan zat gizi, khususnya energi dan protein,
pada tahap awal akan meyebabkan rasa lapar dan dalam jangka waktu tertentu
berat badan akan menurun yang disertai dengan menurunnya produktivitas kerja.
Kekurangan zat gizi yang berlanjut akan menyebabkan status gizi kurang dan gizi
buruk. Apabila tidak ada perbaikan konsumsi energi dan protein yang mencukupi,
pada akhirnya tubuh akan mudah terserang penyakit infeksi yang selanjutnya
dapat menyebabkan kematian
Kecukupan gizi adalah rata-rata asupan gizi harian yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan gizi bagi hampir semua (97,5%) orang sehat dalam kelompok
umur, jenis kelamin dan fisiologis tertentu. Nilai asupan harian zat gizi yang
diperkirakan dapat memenuhi kebutuhan gizi mencakup 50% orang sehat dalam
kelompok umur, jenis kelamin dan fisiologis tertentu disebut dengan kebutuhan gizi.
Kecukupan energi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu umur, jenis kelamin, ukuran
tubuh, status fisiologis, kegiatan, efek termik, iklim dan adaptasi. Untuk kecukupan
protein dipengaruhi oleh faktor-faktor umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, status
fisiologi, kualitas protein, tingkat konsumsi energi dan adaptasi.
3.4.2. Ketersediaan Pangan (Food Availability)
Food availability yaitu
ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup, aman dan bergizi untuk semua orang
dalam suatu negara baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan
pangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan harus mampu mencukupi pangan
yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang
aktif dan sehat.
3.4.3. Akses Pangan (Food
Accessibility)
Akses pangan, yaitu kemampuan
semua rumah tangga dan individu dengan sumberdaya yang dimilikinya untuk
memperoleh pangan yang cukup untuk kebutuhan gizinya yang dapat diperoleh dari
produksi pangannya sendiri, pembelian ataupun melalui bantuan pangan. Akses
rumah tangga dan individu terdiri dari akses ekonomi, fisik dan sosial. Akses
ekonomi tergantung pada pendapatan, kesempatan kerja dan harga. Akses fisik
menyangkut tingkat isolasi daerah (sarana dan prasarana distribusi), sedangkan
akses sosial menyangkut tentang preferensi pangan.
IV. STRATEGI
PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN
Permasalahan pangan
di pedesaan, sebenarnya adalah permasalahan lokal, yaitu bagaimana sebenarnya
kemampuan masyarakat pedesaan dalam memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga
didesanya sesuai dengan preferensi dan kemampuan sumber daya yang dimiliki. Cara
pandang administratif terhadap desentralisasi pangan di tingkat lokal bahwa
permasalahan di tingkat lokal menuntut pendekatan-pendekatan yang fleksibel dan
spesifik lokasi. Desentralisasi yang demokratik dapat memfasilitasi pemecahan
masalah pangan secara partisipatif, perencanaan pangan yang efektif dan
sekaligus implementasinya di tingkat lokal. Pengertian ini mengandung makna
pemenuhan kebutuhan pangan di pedesaan tidak semata-mata didasarkan pada
produksi tanaman pangan yang ada di wilayah tersebut namun lebih pada bagaimana
masyarakat pedesaan mampu menyediakan kebutuhan pangannya. Ukuran normatif
dalam pemenuhan kebutuhan pangan di tingkat lokal menyangkut pada permasalahan
ketersediaan, keandalan, kemudahan dan kualitasnya.
Berbagai faktor harus diperhatikan dalam merumuskan
kebijakan pangan di tingkat lokal yang berbasis pada sistem sosial budaya
setempat. Faktor-faktor tersebut adalah culture, religion, status,
community, tradition, school, home & family, geography, history, economics,
science, technology, agriculture, climate, medicine, genetics. Kebijakan
bercocok tanam misalnya, tidak hanya memperhatikan masalah lahan yang cukup,
iklim yang cocok, ilmu pengetahuan yang mendukung; tetapi juga memperhatikan
masalah sosial budaya masyarakat setempat mengenai jenis tanaman yang diterima
secara baik. Cara ini seharusnya merupakan bagian dari strategi keberlanjutan (sustainability)
kebijakan pangan yang harus dilaksanakan.
Pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena
terkait dengan persediaan bahan pangan. Pangan, khususnya beras, di Indonesia
menempati posisi strategis, karena sebagian besar masyarakat Indonesia
mengkonsumsi beras sebagai makanan pokoknya. Akan tetapi petani sebagai
penghasil beras ternyata basibnya belum makmur. Tekanan sosial-ekonomi yang
dialami oleh petani sangat beragam
intensitas dan durasinya. Kemiskinan
yang dialami oleh rumah tangga petani berpangkal pada terbatasnya pemilikan dan
penguasaan lahan, kegagalan panen, mahalnya biaya produksi dan keuntungan yang
kecil, serta ketersediaan cadangan subsistesi yang terbatas. Kondisi
ketidakpastian dan tekanan hidup yang dialami oleh rumah tangga petani, telah
menimbulkan berbagai reaksi dan respon yang dilakukan oleh rumah tangga petani
untuk menghadapinya. Untuk mengatasi kebutuhan hidup yang makin kompleks, rumah
tangga petani menetapkan strategi untuk mempertahankan kelangsungan hidup
mereka, yaitu dengan cara mencari penghasilan tambahan, menghemat pengeluaran,
mencari pinjaman (hutang), serta menjalin kehidupan gotong royong dengan
tetangga dan kerabat.
Manusia (individu maupun
kelompok) merupakan penggerak berbagai aset dan sumberdaya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, termasuk kebutuhan pangannya. Manusia
dalam hal ini memiliki akses terhadap berbagai aset dan sumberdaya produktif
yang dapat dikelola untuk memenuhi kebutuhan pangan dan kebutuhan hidup
lainnya. Penghidupan berkelanjutan merupakan: “suatu penghidupan yang meliputi
kemampuan atau kecakapan, aset-aset (simpanan, sumberdaya, claims dan
akses) dan kegiatan yang dibutuhkan untuk sarana hidup”.
• humane capital, yakni modal yang dimiliki
berupa keterampilan, pengetahuan, tenaga kerja, dan kesehatan;
• Social
capital, adalah kekayaan sosial yang dimiliki masyarakat seperti jaringan,
keanggotaan dari kelompok-kelompok, hubungan berdasarkan kepercayaan,
pertukaran hak yang mendorong untuk berkoperasi dan juga mengurangi biaya-biaya
transaksi serta menjadi dasar dari sistem jaringan pengaman sosial yang
informal;
• Natural
capital adalah persediaan sumber daya alam seperti tanah, hutan, air, kualitas
udara, perlidungan terhadap erosi, keanekaragaman hayati, dan lainnya;
• Physical
capital adalah infrastruktur dasar jalan, saluran irigasi, sarana komunikasi,
sanitasi dan persediaan air yang memadai, akses terhadap komunikasi, dsbnya;
• Financial
capital, adalah sumber-sumber keuangan yang digunakan oleh masyarakat untuk
mencapai tujuan-tujuan kehidupannya seperti uang tunai, persediaan dan
peredaran uang reguler.
Hubungan individu atau
rumahtangga terhadap pangan didasarkan pada konsep entitlement atau hak
terhadap pangan. Dalam konsep ini, memproduksi dan mendapatkan pangan bagi manusia adalah
hak asasi. Ada beberapa cara manusia dalam mengakses pangan yaitu:
• direct
entitlement, yakni hak atas pangan yang diperoleh melalui hubungan hubungan di
dalam kegiatan proses produksi pangan;
• exchange
entitlement, yakni hak dan akses atas pangan yang diperoleh melalui hubungan
tukar menukar jasa atau keahlian;
• trade
entitlement, yakni hak atas pangan yang diperoleh melalui hubungan jual beli
komoditi yang diproduksi sendiri; dan
• social
entitlement, yakni hak dan akses terhadap pangan yang diperoleh melalui
pertukaran sosial di antara anggota komunitas sosial.
Sistem pangan individu, rumahtangga atau masyarakat yang
lebih luas bukanlah sesuatu yang statis tetapi dinamis. Dinamika ini antara
lain dipengaruhi oleh tingkat kerentanan (vulnerability)
dan kemampuan individu atau rumahtangga dalam menghadapi perubahan. Penyebab
kerentanan adalah shock yaitu perubahan mendadak dan tidak terduga (karena
alam, ekonomi, konflik, dan lainnya).
Seasonality atau musiman yang dapat diperkirakan dengan
hampir pasti, seperti perubahan secara musiman dari harga, produksi, dan iklim.
Setiap individu dan unit sosial yang lebih besar mengembangkan system
penyesuaian diri dalam merespon perubahan tersebut (shocks, trends, dan seasonality). Respons itu bersifat jangka
pendek yang disebut coping mechanism atau yang lebih jangka panjang yang
disebut adaptive mechanism. Mekanisme dalam menghadapi perubahan dalam jangka
pendek terutama bertujuan untuk mengakses pangan (entitlement), sedangkan jangka panjang bertujuan untuk memperkuat
sumber-sumber kehidupannya (livelihood
assets). Ketidakmampuan menyesuaikan diri dalam jangka pendek akan membawa
ke kondisi rawan pangan. Penyesuaian rawan pangan yang tidak memperhitungkan
aspek penguatan sumber-sumber kehidupan dalam jangka panjang justru tidak akan
menjamin keberlanjutan ketahanan pangan individu dan rumahtangga.
4.1. Strategi Produksi
Sektor pertanian masih merupakan sumber pendapatan
utama bagi mayoritas penduduk Indonesia. Sekitar 40 % penduduk Indonesia
bekerja di sektor pertanian, serta sebagian besar adalah petani tanaman pangan.
Ciri- ciri petani tanaman pangan ini adalah :
1. Sebagian besar berada di daerah pedesaan Jawa
2. Mempunyai lahan yang sempit dan umumnya kurang
dari 0.3 hektar
3. Tingkat pendidikan sangat rendah (umumnya di bawah
SLTP)
4. Penguasaan modal sangat terbatas dan umumnya
tergolong miskin
5. Sangat taat menanam tanaman pangan,
dengan elastisitas penawaran terhadap perubahan harganya kurang dari 0.3.
6. Sangat minded terhadap penggunaan pupuk,
terutama urea
7. Umumnya menggunakan tenaga kerja keluarga
sendiri.
8. Dalam perhitungan usahataninya, tidak memperhitungkan
sewa lahan dan tenaga kerja keluarga.
Perilaku rumah tangga petani skala kecil ini
umumnya bersifat semi komersial yang berperan sebagai produsen, konsumen dan
pensuplai tenaga kerja, dimana keputusan dalam usahataninya tidak dapat
terpisahkan dengan keputusan aktifitas rumah tangganya. Peran ganda yang
dimiliki petani kecil ini, yaitu sebagai produsen sekaligus konsumen
menyebabkan adanya pola pengambilan keputusan yang unik dalam rumah tangga
petani. Fenomena seperti ini ditandai oleh adanya alokasi silang penggunaan
sumberdaya antara kebutuhan produksi dan kebutuhan konsumsi. Dengan kata lain
tidak tampak tegas terpisah antara pengelolaan sektor produksi dengan
pengelolaan sektor konsumsi dalam suatu rumah tangga petani.
4.1.1. Intensifikasi Produksi Pangan
Intensifikasi merupakan usaha
untuk menaikkan hasil pertanian tanpa menambah areal lahan pertanian, caranya
antara lain dengan pemilihan bibit unggul, pemupukan, irigasi yang baik,
mencegah gangguan hama dsb. Intensifikasi pertanian juga dapat dimaknai sebagai
usaha peningkatan produktivitas tenaga kerja dan sumberdaya alam serta upaya
peningkatan keunggulan daya saing dengan penerapan iptek dan sarana produksi
yang efisien.
Intensifikasi pertanian biasanya
mencakup 3 (tiga) aspek utama, yaitu: (1) pengembangan sumberdaya pertanian
yang meliputi sumberdaya manusia, sumberdaya alam, ilmu pengetahuan dan
teknologi, dana, informasi, dan kelembagaan; (2) peningkatan produksi
pertanian, agroindustri, sistem distribusi dan perdagangan, pengembangan
wilayah, peningkatan kehidupan petani, dan optimalisasi investasi pertanian; (3)
pengembangan manajemen pembangunan pertanian lintas sektoral dan lintas daerah.
Kredit Usahatani (KUT) dan Kredit
Ketahanan Pangan (KKP), adalah kredit untuk usahatani tanaman pangan (padi dan
palawija), tebu, peternakan, perikanan, dan pengadaan pangan. Tujuannya adalah
untuk meningkatkan produksi pertanian dan meningkatkan pendapatan petani.
Program KUT dan KKP ini dimaksudkan untuk membantu petani yang belum mampu
membiayai sendiri usahataninya agar dapat meningkatkan produksi dan
pendapatannya serta mewujudkan ketahanan pangan. Selain modal, tenaga kerja merupakan faktor
penting dari kegiatan produksi sektor pertanian. Kelonggaran kualifikasi tenaga
kerja di sektor pertanian memberikan daya serap yang tinggi terhadap tenaga
kerja di sektor tersebut dan membentuk karakteristik tertentu yang
membedakannya dengan tenaga kerja di sektor perekonomian lainnya. Pada umumnya
tenaga kerja di sektor pertanian memiliki tingkat pendidikan yang rendah,
mengandalkan skill yang terbatas, mengerjakan lahan pertanian milik sendiri
atau orang lain dan merupakan pekerjaan yang dilakukan turun-temurun.
Kredit usahatani pada dasarnya merupakan
dana bantuan pemerintah untuk meningkatkan produksi pertanian dan taraf hidup
petani, namun pada kenyataannya sebagian petani tidak dapat mengembalikan
kredit sehingga terjadi kredit macet. Ada banyak faktor yang mempengaruhi kemampuan
petani untuk mengembalikan kredit. Beberapa faktor penting adalah faktor
sumberdaya produksi, faktor karakter petani, dan faktor karakteristik lahan.
Pemilikan lahan sempit menjadi kendala utama yang membatasi kemampuan petani
untuk dapat mengembalikan kredit.
4.1.2. Diversifikasi Produksi Pangan
Indikator
diversifikasi pertanian yang lazim digunakan adalah: (1) multiple
croppingindex (MCI) yang menunjukkan derajat intensitas tanam, (2) harvest
diversity index (HDI) yang merefleksikan derajat diversifikasi pemanfaatan
lahan, dan (3) diversity index (DI) yang menunjukkan derajat diversifikasi
pendapatan. Semakin tinggi nilai ketiga
indikator tersebut, makin tinggi derajat diversifikasi pertanian di tingkat wilayah
dan di tingkat usaha tani. Secara umum, diversifikasi pertanian di daerah
sentra produksi padi mengalami stagnasi, yang diindikasikan oleh relatif
kecilnya perubahan MCI dan HDI selama periode waktu tertentu. Sementara derajat
diversifikasi (MCI dan HDI) berjalan lambat, laju diversifikasi pendapatan
bahkan menurun, terutama karena adanya perubahan harga relatif masukan dan keluaran
komoditas pertanian.
Rendahnya derajat
diversifikasi biasanya berkaitan dengan beberapa faktor, yaitu: (1) petani cenderung
menanam padi, dan bila air tidak tersedia, lahan akan diberakan, (2) petani
padi umumnya tidak memiliki akses informasi teknologi komoditas nonpadi, (3)
keterbatasan modal dan ketidak-beranian petani menanggung risiko usaha tani,
dan 4) di samping aspek teknis dan ekonomi, faktor budaya juga berpengaruh terhadap
rendah dan lambatnya implementasi diversifikasi.
Pilihan untuk
melakukan diversifikasi di lahan sawah ditentukan oleh kombinasi faktor teknis,
ekonomi, lingkungan, sosial, dan budaya. Tingkat diversifikasi usahatani lahan sawah, yang direfleksikan dalam keragaan
pola tanam dan ragam komoditas penyusunnya, menunjukkan bahwa tingkat diversifikasi
usaha tani di lahan sawah bervariasi menurut lokasi dan tipe irigasi.
Pemilihan jenis
komoditas dan pola tanam oleh petani dipengaruhi oleh faktor teknis, ekonomi,
sosial, dan budaya setempat. Tingginya tingkat pendapatan bukan merupakan
satu-satunya penentu pengambilan keputusan. Secara umum usaha tani lahan sawah
di desa-desa sentra produksi padi di Jawa pada musim hujan didominasi oleh
padi. Diversifikasi usaha tani umumnya dilakukan pada musim kemarau pertama
dan/atau kedua. Tingkat pendapatan usaha tani petani yang melakukan
diversifikasi lebih tinggi dari petani nondiversifikasi. Pengusahaan komoditas
hortikultura memberikan tingkat pendapatan yang lebih tinggi daripada palawija,
namun pengusahaan tanaman hortikultura membutuhkan modal yang besar dan risiko
usahanya lebih tinggi.
Pada lahan sawah
irigasi teknis, diversifikasi usahatani mempunyai prospek pengembangan yang
cukup baik. Secara umum peluang petani untuk memilih pola tanam monokultur padi
lebih rendah daripada berdiversifikasi. Dalam berdiversifikasi, kecenderungan
untuk memilih komoditas pertanian yang tidak bernilai ekonomi tinggi lebih
tinggi daripada komoditas yang bernilai ekonomi tinggi. Faktor-faktor yang
kondusif untuk penerapan pola tanam diversifikasi adalah jumlah anggota rumah
tangga yang bekerja di usaha tani, kemampuan permodalan, peran usaha tani lahan
sawah dalam ekonomi rumah tangga, tingkat kelangkaan air irigasi, dan
kepemilikan pompa irigasi. Faktor yang tidak kondusif adalah fragmentasi lahan
garapan.
Pengembangan
diversifikasi di lahan sawah harus didukung dengan upaya-upaya: (1) perbaikan
ketersediaan dan aksesibilitas terhadap teknologi usaha tani nonberas, (2) penguatan
kapasitas manajemen petani melalui perbaikan pelayanan penyuluhan, khususnya dalam
pengembangan komoditas nonberas, (3) perbaikan ketersediaan dan akses terhadap
permodalan untuk mendukung pengembangan komoditas bernilai ekonomi tinggi
seperti hortikultura, (4) pengembangan infrastruktur irigasi pompa untuk
mempercepat perkembangan diversifikasi usaha tani, (5) peningkatan produktivitas
usaha tani atau mengimplementasikan program stabilisasi harga untuk komoditas
yang memiliki risiko tinggi tetapi tingkat profitabilitasnya tinggi, (6) pemberdayaan
kelembagaan kelompok tani dan membangun jaringan kerja dengan investor dalam
rangka mengatasi masalah permodalan dan pemasaran komoditas alternatif, dan (7)
pengembangan infrastruktur (fisik dan kelembagaan) di tingkat usaha tani, pengolahan
dan pemasaran, dan kerja sama dengan pihak terkait dalam rangka peningkatan
efisiensi pemasaran dan stabilisasi harga khususnya untuk komoditas palawija
dan hortikultura.
4.1.3. Kontinyuitas Produksi Pangan
Apabila musim kemarau tiba, petani melakukan
pergiliran tanaman. Mulai dengan menanam jagung, menanam kedelai juga
kacang panjang, ada juga yang melakukan pola padi, jagung dan tembakau.
Pergiliran tanaman difungsikan agar petani tetap produktif bercocok tanam meski
pasokan air berkurang, sehingga dilakukan penanaman palawija. Selain itu juga dapat
mulai menanam aneka sayuran seperti mentimun, melon, kacang tanah, cabe
dan bawang-merah dan lainnya.
Pola pergiliran tanaman juga mempunyai
fungsi penting yaitu untuk memutus siklus perkembang-biakan hama dan penyakit
tanaman, selain itu juga untuk menekan terjadinya erosi dan mencegah
terkurasnya unsur hara dari dalam tanah. Pergiliran tanaman diperlukan juga
untuk mempertahankan dan memperbaiki sifat-sifat fisik dan kesuburan
tanah. Jika tanaman yang dipergilirkan adalah tanaman leguminosa
(kacang-kacangan), maka akan menambah kandungan Nitrogen (N) tanah yang sangat
bermanfaat untuk pertumbuhan vegetatif tanaman. Juga akan menjaga keseimbangan unsur hara karena
adanya serapan unsur dari kedalaman yang berbeda.
Pergiliran tanaman sangat disarankan agar petani
tetap produktif dan terus dapat memetik hasil bercocok tanamnya meski musim
kering. Pergiliran tanaman dapat mengatasi kemungkinan panen yang gagal,
karena pergiliran tadi dapat memutus siklus hidup hama yang berjangkit pada
suatu areal. Penanaman padi pada hamparan sawah diusahakan secara serentak,
dengan maksud mencegah terjadinya serangan hama dan penyakit.
4.1.4. Sustainabilitas Produksi Pangan
Pertanian
berkelanjutan meliputi komponen-komponen fisik, biologi dan sosioekonomi, yang
direpresentasikan dengan sistem pertanian yang melaksanakan pengurangan input
bahan-bahan kimia dibandingkan pada sistem pertanian tradisional, erosi tanah
terkendali, dan pengendalian gulma, memiliki efisiensi kegiatan pertanian
(on-farm) dan bahan-bahan input maksimum, pemeliharaan kesuburan tanah dengan
menambahkan nutrisi tanaman, dan penggunaan dasar-dasar biologi pada
pelaksanaan pertanian. Salah satu pendekatan pertanian berkelanjutan adalah
input minimal (low input). Konsep ini adalah bahwa sistem pertanian memiliki
kapasitas internal yang besar untuk melakukan regenerasi dengan menggunakan
sumberdaya-sumberdaya internal.
Pertanian
berkelanjutan merupakan suatu cara bertani yang mengintegrasikan secara
komprehensif aspek lingkungan hingga sosial ekonomi masyarakat pertanian. Suatu
mekanisme bertani yang dapat memenuhi kriteria (1) keuntungan ekonomi; (2)
keuntungan sosial bagi keluarga tani dan masyarakat; dan (3) konservasi
lingkungan secara berkelanjutan. Pertanian berkelanjutan bertujuan untuk
memutus ketergantungan petani terhadap input eksternal dan penguasa pasar yang
mendominasi sumber daya agraria. Pertanian berkelanjutan merupakan tahapan
penting dalam menata ulang struktur agraria dan membangun sistem ekonomi
pertanian yang sinergis antara produksi dan distribusi dalam kerangka pembaruan
agraria.
Pelaksanaan
pertanian berkelanjutan bersumber dari tradisi pertanian keluarga yang
menghargai, menjamin dan melindungi keberlanjutan alam untuk mewujudkan kembali
budaya pertanian sebagai kehidupan. Konsep “Pertanian berkelanjutan berbasis
rumahtangga petani”, dikembangkan untuk membedakan dengan konsep pertanian
organik berorientasi bisnis. Pertanian berkelanjutan merupakan sarana bagi
terwujudnya ketahanan pangan rumahtangga petani.
Strategi Income Rumah Tangga
Petani
Income
diversification means an attempt to widen the income base by exploring and
adopting new economic opportunities. It can take place at an individual level
or at household level, also an enterprise can diversify its portfolio of
activities, or diversification of the economy can be a local strategy.
Diversification is often a tool for risk management in
the absence of insurances or credits. To protect the household against risks
(e.g. weather, health, price), all eggs are not put in the same basket.
Sometimes this may happen at the cost of losing the potential gains from
specialisation but the poor rural households may have no choice. There are both
push factors and pull factors driving to diversification. Push factors push the
household members to look for new opportunities outside agriculture (or within
agriculture). Such factors are e.g. poor
harvest, poor prices, deteriorating environment, extra labour, sudden need for
extra income, changes is agricultural policy. Pull factors can be e.g.
attractive opportunities outside agriculture promising better returns or other
rewards (status, access to resources and services… .).
4.2.1. Diversifikasi Pendapatan On-farm
Farm income consisted of
crop production for sale and own consumption and livestock income. Crops
constituted on average 50-60% of the income and livestock 10-20 %, total
70%. Most valuable crop was horticulture
(for sale), followed by maize, cassava and sweet potato (both for sale and home
consumption). Major problems were access to inputs and markets, also labour,
low prices. Crop income generated most of the incomes, therefore size of
cultivated land was the most important income determinant. Small cultivated
dryland was attached to a need to look for additional income from forests and
piece work (coping).
4.2.2. Diversifikasi
Pendapatan Off-farm
The farmer participation in off-farm work
is influenced positively by higher levels of education and the presence of more
than one farm operator associated with the farm operation, as well as by local
and regional characteristics such as high local employment rate, low regional
unemployment rate and a more diversified regional economy. The “family,
community and regional characteristics appear more relevant in determining the
joint decision to work off-farm and operate a smaller holding, compared to the
decision to work off-farm and operate a larger holding”. For those farmers who do work off-farm,
education increases the number of hours worked off-farm. In addition, a
positive influence of wages in off-farm labour participation.
Any factors suggest a negative effect on
the probability of farmers participation in off-farm work. Some of these factors
are: dairy production (dairy production is used as a proxy for labour intensive
activities); size of the farm in terms of land area, capital investment and
sales (the larger the farm the lower the probability of participation), and
hired non-family labour (the operator usually has to be present for supervising
farm work). Additionally, increasing the complexity of the business structure
apparently increases the value of on-farm work by the operator and decreases
the probability of off-farm employment compared to a sole proprietorship; this
is particularly evident for corporations.
4.2.3. Diversifikasi Pendapatan Non-farm
Agriculture is no longer the main source of income for
a part of rural families in a certain areas of the Ponorogo Regency. Non-farm
activities develop through both salaried employment outside agriculture and
non-farm self-employment activities. The rural population is risk-averse: they
prefer working as salaried employees; do not think of
changing their job; and yet fear losing the current position. These factors and
the volatility of non-farm self-employment activities, which primarily depend
on weather conditions, put high priority on policies that support non-farm
activities.
In order to increase family income, rural
households follow two strategies. First, they increase the number of income
sources, primarily from self-employment activities. Second, family members can
increase family income if they work in different sectors of the rural economy.
Self-employment is mainly represented by work on the household plot, but some of
households are engaged in non-farm self-employment activities, such as picking
and sale of any rural products. The development of the non-farm rural sector is
taking place under distress-push conditions. These conditions push family
members to find additional income sources, which are not regarded as a
potential for future primary employment but rather as a stopgap.
The aim of income diversification
is to smooth the flow of income and consequently consumption across time
(minimize fluctuations). Therefore diversification should preferably take place
across sectors, space and time to reduce income variability, however, many of
the nonfarm income sources have been found to be closely linked to agriculture.
Link to agriculture can be either upstream or downstream (e.g. providing
agricultural labour, processing of agricultural products).
Nonfarm income consisted of forest income, wage employment (piece
work) income, business income, and transfers from relatives, about 20-30% of
total. Forest income: selling of grass,
firewood, charcoal, timber, mushrooms, etc. Wage income: working on other
people’s farms. Business income: food
handlings, shop keeping, trading, handycrafts, hunting. Transfer: cash and
inkind from relatives, food aid, pensions, and others.
4.3. Strategi Diversifikasi
Pangan:
Makan BERAGAM, BERGIZI
SEIMBANG DAN AMAN
Makan
beragam dan bergizi seimbang merupakan satu kesatuan konsep ketahanan pangan
bagi setiap orang dan rumahtangga agar dapat hidup sehat, aktif dan produktif.
Pangan bergizi belum tentu aman, beragam dan seimbang; sebaliknya pangan yang
beragam belum tentu dikonsumsi seimbang antar kelompok pangan dan antar waktu
makan dalam memenuhi kebutuhan gizi setiap orang dan rumahtangga.
Dalam
konteks penganekaragaman konsumsi pangan, gerakan makan beragam, bergizi
seimbang dan aman dilihat sebagai upaya:
(1) peningkatan pemenuhan kalori masyarakat per kapita
untuk mencapai kondisi ideal,
(2) memberikan pemahaman kepada anggota masyarakat bahwa
pangan yang dikonsumsi secara beragam, bergizi seimbang dan aman sangat
diperlukan,
(3) untuk menumbuhkan dan menanamkan pola makan
sehari-hari yang beragam, bergizi seimbang dan aman kepada lingkungan rumahtangga,
dan
(4) mendorong pengenalan, pengkajian dan pemanfaatan
pangan-pangan lokal non-beras sebagai pangan alternatif yang memiliki nilai
gizi dan nilai ekonomi yang cukup baik.
Kerangka
pikir gerakan makan beragam, bergizi seimbang dan aman dalam mencapai sasaran
yang ditetapkan, dapat diperhatikan pada bagan berikut.
Adapun langkah-langkah operasional, daerah
sasaran dan output yang diharapkan dari gerakan makan beragam, bergizi seimbang
dan aman dapat dilihat pada bagan berikut.
V.
SISTEM PRODUKSI PANGAN BERKELANJUTAN
The farming and food industry has three key
challenges: to compete successfully with the world’s best; care for the
environment; and build public confidence in what it produces. The industry
needs to achieve these aims to be sustainable, and for everyone else to see
real improvements in the quality of life.
Kriteria pertanian berkelanjutan di suatu daerah adalah: (FAO 1991)
· Memenuhi kebutuhan pangan. Meeting the
food needs of present
and future generations in terms of quantity and quality and the demand for
other agricultural products.
· Menyediakan cukup kesempatan kerja. Providing
enough jobs, securing
income and creating human living and working conditions for all those engaged
in agricultural production.
· Melestarikan kapasitas produksi. Maintaining,
and where possible enhancing, the productive capacity of the natural resources base as a whole
and the regenerative capacity of renewable resources, without impairing the
function of basic natural cycles and ecological balance, destroying the
socio-cultural identity of rural communities or contaminating the environment.
· Ketahanan sektor pertanian. Making the
agricultural sector more resilient against adverse natural and socio-economic factors and other
risks, and strengthening the self-confidence of rural populations.
Sustainable Agriculture = the process of maintaining
an agricultural permanence through holistic soil management practices and
integrated field crop production .
Usahatani berkelanjutan artinya usahatani untuk kesejahteraan masyarakat
dan kelestarian lahan dalam jangka panjang. Para
petani yang menggunakan metode berkelanjutan berusaha untuk memenuhi kebutuhan
makanan yang bergizi, bagi rumahtangga dan komunitasnya, disamping menjalankan
konservasi air, meningkatkan kesuburan tanah, dan menyimpan benih untuk masa
depan.
Bahan-bahan pangan dihasilkan dari lahan pertanian, tetapi banyak
orang yang tidak punya lahan usaha yang cukup, atau bahkan tidak punya sama
sekali, untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Usahatani berkelanjutan, koperasi pemasaran pangan, dan distribusi pangan
yang merata dapat membantu mengatasi kesulitan ini.
Petani mengembangkan metode usahatani
berkelanjutan, lalu mengubah dan menyesuaikan metode ini untuk melayani
kebutuhan komunitas dan kondisi lahan usahanya. Usahatani berkelanjutan yang dilakukan
di lokasi yang memang sudah dipakai bertani selama beberapa generasi, membantu
menyelesaikan masalah-masalah kelaparan, migrasi, kehilangan kesuburan tanah,
dan masalah pencemaran air.
Metode usahatani yang berkelanjutan tidak
hanya menghasilkan bahan makanan, tetapi juga membuat tanah menjadi subur,
melindungi pasokan air, mempertahankan benih-benih yang berharga, memelihara
keanekaragaman hayati, dan membuat tanah tetap dapat memberi hidup bagi
generasi selanjutnya. Dengan menggunakan metode yang berkelanjutan untuk
tanaman pangan, para petani dapat menanam lebih banyak di lahan yang sempit,
dengan sedikit atau tanpa pupuk dan pestisida anorganik. Hal ini akan
menghasilkan pangan yang lebih banyak dan lebih baik untuk dimakan dan dijual,
biaya memproduksi bahan makanan lebih kecil, dan mengurangi pencemaran udara,
air, tanah, dan tubuh kita.Usahatani berkelanjutan dapat meningkatkan kesehatan
masyarakat karena:
1. mengurangi
ancaman kekeringan melalui konservasi air.
2. mengurangi
ketergantungan pada bahan kimia, menghemat uang, dan membangun
kepercayaan pada kemampuan untuk mandiri. Usahatani tanpa bahan agrokimia
mencegah terjadinya gangguan kesehatan akibat bahan kimia pada petani, pekerja
di lahan pertanian, dan semua orang yang mengkonsumsikan makanan yang
diproduksi atau meminum air dari sumber air setempat.
3. menurunkan
jumlah pekerjaan yang diperlukan untuk menghasilkan pangan bila metode yang
berkelanjutan ini digunakan. Misalnya dengan membuat pupuk hijau, kompos dan
pupuk kandang.
Usahatani
yang berkelanjutan paling baik dilakukan bila petani belajar menyesuaikan diri
dengan kondisi setempat, dan membagi apa yang telah dipelajarinya kepada
petani lain. Beberapa panduan umum usahatani berkelanjutan adalah:
1. Tanaman yang sehat membutuhkan tanah yang
sehat. Pupuk
alami digunakan untuk meningkatkan kesuburan tanah, dan untuk melindungi tanah
dari erosi.
2. Menghemat air dan melindungi sumber-sumber air.
Ada banyak cara yang dapat digunakan untuk konservasi air tanah.
3. Menyimpan benih dari penanaman setiap musim
untuk ditanam dimusim berikutnya.
4. Pengendalian hama dan penyakit tanaman secara
alami.
5. Menanam bermacam-macam jenis tanaman. Menanam tanaman campuran dan
mengganti lokasi penanamannya setiap tahun.Dengan demikian dapat mempertahankan
unsur hara di dalam tanah disamping meningkatkan kesehatan masyarakat dengan
memberikan variasi pangan yang dimakan. Selain itu juga mengendalikan hama dan
penyakit tanaman.
6. Mula-mula lakukan perubahan kecil. Kebanyakan benih tanaman pangan
unggul telah diperbaiki selama ratusan bahkan ribuan tahun oleh para petani
yang mencoba metode-metode baru.
5.1.
Sistem Usahatani Terpadu
Integrasi Peternakan dengan lahan Pertanian
Salah satu upaya untuk mewujudkan pengembangan ekonomi pedesaan adalah dengan
cara pembangunan kawasan produksi berbasis komoditas unggulan. Peternakan sapi
potong dapat menjadi salah satu komoditas unggulan yang layak dikembangkan guna
meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan. Selama ini, sebagian besar pola peternakan sapi
potong rakyat masih menggunakan pola tradisional dan belum tersentuh inovasi
teknologi tepat guna. Masyarakat masih menganggap ternak sapi hanya sebagai
alat bantu dalam pengolahan lahan pertanian. Pertanian organik terpadu berbasis
peternakan terbukti sangat menguntungkan. Integrasi ternak dengan lahan
pertanian merupakan upaya percepatan pengembangan peternakan dengan penerapan
keterpaduan antar komoditas ternak dengan usaha tanaman pangan, perkebunan dan
perikanan yang saling menguntungkan berupa limbah usaha tanaman pangan,
perkebunan dan perikanan yang digunakan sebagai pakan ternak untuk ternak dan
kotoran ternak dalam bentuk kompos yang digunakan untuk meningkatkan kesuburan
lahan pertanian.
Kegiatan pertanian terpadu membutuhkan bahan
organik dalam jumlah banyak. Dari kegiatan penggemukan sapi potong dapat
dihasilkan bahan organik berupa pupuk kandang dan pupuk cair. Sebagai gambaran,
dari 3 ekor sapi dapat dihasilkan kotoran yang dapat dipakai untuk memupuk 5 ha
sawah per tahun. Selain itu, dengan teknologi sederhana kotoran ternak dapat
juga dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif menjadi biogas. Pada beberapa
peternakan sapi rakyat di Pangalengan pemanfaatan kotoran ternak sudah
digunakan sebagai bahan bakar alternatif.
Pertanian
terpadu atau integrated farming adalah
usaha pertanian dengan
kelola bersinambungan, sehingga tidak dikenal limbah
sebagai produk sampingan, semua bagian hasil pertanian diasumsikan sebagai
produk ekonomis dan semua kegiatan adalah profit center, hasil samping
dari salah satu sub bidang usaha menjadi
bahan baku atau bahan pembantu sub bidang lainnya yang masih
terkait. Ilustrasi sederhana adalah usaha budidaya jagung,
produk bukan hanya jagung pipilan kering sedangkan biaya
pembuangan batangnya dilahan dan dibakar
menjadi beban/ cost, tetapi dalam pertanian
terpadu meskipun ada biaya pengumpulan batang jagung
dari lahan tetapi dapat diproses menjadi silage
(pakan ternak ruminansia) atau disimpan sebagai pakan kering,
sehingga untuk jumlah yang memenuhi criteria ekonomis justru akan membuka cluster ekonomis baru.
Sapi adalah mahluq yang luar biasa,
limbah-limbah pertanian seperti
jerami, tebon (batang dan daun jagung), tinten (batang dan daun kedelai) serta
rerumputan dan hiajauan di sekitar rumah dimakan dirubah menjadi daging dan
susu sebagai sumber protein makanan bergizi dan yang tidak kalah penting sapi
juga mengasilkan kotoran yang bila diolah akan menjadi pupuk untuk meningkatkan
produksi tanaman, sekaligus memperbaiki ciri-ciri fisika tanah. Dalam membuat
kompos dihasilkan gas methan yang akan mencukupi kebutuhan energi sehari-hari
bagi rumah petani. Oleh karena itu seyogyanya peternakan tidak semata untuk
menghasilkan daging, susu dan anakan sapi tapi juga sebagai pabrik pupuk
kandang tang produktif. Dalam pelaksanaannya yang perlu diperhatikan adalah teknologi
pendukung yang memungkinkan pertumbuhan berat sapi maksimal dengan menyertakan
teknologi probiotik dan lain-lain, pupuk yang dihasilkan harus berkualitas
tinggi dengan didukung teknologi pengomposan dan gas yang dihasilkan dirancang
untuk bisa mencukupi standard kebutuhan sehingga hasilnya maksimal dan
benar-benar menciptakan keluarga petani yang makmur dan mandiri.
5.2. Mixed Farming System
Mixed farming systems can be classified in many ways - based on land size,
type of crops and animals, geographical distribution, market orientation, etc.
Three major categories, in four different modes of farming, are distinguished
here. The categories are:
·
On-farm versus between-farm mixing
·
Mixing within crops and/or animal systems
·
Diversified versus integrated systems.
On-farm
mixing refers to mixing on the same
farm, and between-farm mixing
refers to exchanging resources between different farms. On-farm mixing occurs
where individual farmers will be keen to recycle the resources they have on
their own farm. Between-farm mixing is used to mitigate the waste disposal
problems of specialized farming. Crop farmers use dung from animal farms, a
process that involves transport and negotiation between farmers and even
politicians. Between-farm mixing also occurs at the regional level, animals are raised in one area to be fattened
in another area where plenty of grain is available. Manure may be transported
from livestock farms to farmers and vegetable cropping areas where manure is in
short supply.
5.3.
Sustainable Agroforestry Management
Penanaman berbagai macam pohon dengan/atau
tanpa tanaman semusim pada lahan yang sama sudah sejak lama dilakukan petani di
Indonesia .
Contoh ini dapat dilihat dengan mudah pada lahan pekarangan di sekitar tempat
tinggal petani di wilayah pedesaan. Jenis-jenis pohon yang ditanam sangat
beragam, ada yang bernilai ekonomi tinggi seperti kelapa, karet, cengkeh, kopi,
kakao (coklat), nangka, belinjo, petai, jati dan mahoni, ada pula yang bernilai
ekonomi rendah seperti dadap, lamtoro dan kaliandra. Jenis tanaman semusim
biasanya berkisar pada tanaman pangan yaitu padi (gogo), jagung, kedelai,
kacang-kacangan, ubi kayu, sayur-mayur dan rerumputan atau jenis-jenis tanaman
lainnya.
Sistem
agroforestri yang lebih kompleks merupakan sistem
pertanian menetap yang melibatkan beragam jenis pohon (berbasis pohon), baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara
alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola yang menyerupai
hutan. Dalam sistem ini,
terdapat beraneka jenis pohon, perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman semusim
dan rerumputan dalam jumlah banyak.
Agroforestri
merupakan salah satu model pertanian berkelanjutan yang tepat-guna, sesuai dengan
keadaan petani. Pengembangan pertanian komersial khususnya tanaman semusim menuntut
terjadinya perubahan sistem produksi secara total menjadi sistem monokultur dengan
masukan energi, modal, dan tenaga kerja dari luar yang relatif besar yang tidak
sesuai untuk kondisi petani. Selain itu, percobaan-percobaan yang dilakukan
untuk meningkatkan produksi tanaman komersial selalu dilaksanakan dalam kondisi
standar yang berbeda dari keadaan yang lazim dihadapi petani. Tidak
mengherankan bila banyak hasil percobaan mengalami kegagalan pada tingkat
petani.
Agroforestri
mempunyai fungsi ekonomi penting bagi masyarakat setempat. Peran utamanya bukanlah
semata-mata produksi bahan pangan, melainkan sebagai sumber penghasil pemasukan
uang dan modal. Misalnya: kebun damar, kebun karet dan kebun kayu manis menjadi
andalan pemasukan modal petani. Agroforestri seringkali menjadi satu-satunya
sumber income bagi rumahtangga petani. Agroforestri mampu menyumbang 50% hingga
80% pemasukan dari pertanian di pedesaan melalui produk-produknya, baik
langsung maupun tidak langsung, yang berhubungan dengan aktivitas pengumpulan
hasil, pengolahan hasil dan pemasaran hasil.
Keunikan sistem agroforestri adalah karena
sistem ini bertumpu pada keragaman struktur dan unsur-unsurnya, tidak
terkonsentrasi pada satu spesies tanaman saja. Usaha memperoleh produk ekonomi
ternyata sejalan dengan fungsi ekologis yang lebih luas.
Aneka hasil agroforestri dapat berfungsi sebagai
"bank" yang sebenarnya. Pendapatan dari sistem agroforestri
ini dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari yang diperoleh dari hasil-hasil yang dapat
dipanen secara teratur, misalnya lateks karet, damar, kopi, kayu manis dan
lain–lain. Selain itu, agroforestri juga dapat membantu memenuhi kebutuhan tahunan
dari hasil-hasil yang dapat dipanen secara musiman seperti buah-buahan, cengkeh,
pala, dan lain-lain. Komoditas-komoditas lain seperti kayu bahan bangunan juga
dapat menjadi sumber uang yang cukup besar meskipun tidak tetap, dan dapat dianggap
sebagai cadangan tabungan untuk kebutuhan mendadak. Di beberapa daerah di Indonesia
menabung uang tunai masih belum merupakan kebiasaan, maka keragaman bentuk
sumber uang sangatlah penting. Kelenturan sistem agroforestri juga penting di
daerah-daerah dimana akses kredit sangat sulit.
Struktur yang tetap dengan diversifikasi
tanaman komersil, menjamin keamanan dan kelenturan pendapatan petani, walaupun
sistem ini tidak memungkinkan adanya akumulasi modal secara cepat dalam bentuk
aset-aset yang dapat segera diuangkan. Keragaman tanaman melindungi petani dari
ancaman kegagalan panen salah satu jenis tanaman atau resiko perkembangan pasar
yang sulit diperkirakan. Jika terjadi kemerosotan harga satu komoditas, species
ini dapat dengan mudah ditinggalkan saja, hingga suatu saat harga produknya
baik kembali. Proses tersebut tidak menimbulkan gangguan ekologi terhadap
sistem agroforestri. Petak kebun tetap utuh dan produktif dan species yang “ditinggalkan”
akan tetap hidup dalam struktur agroforestri, dan dapat dipanen kembali sewaktu-waktu.
Spesies-spesies baru dapat diperkenalkan tanpa merombak sistem produksi yang
ada.
Valuasi ekonomi pertanian biasanya
ditujukan pada jenis tanaman dan pola penanaman monokultur yang teratur rapi. Valuasi
ekonomi masih belum banyak dolakukan terhadap nilai pepohonan dan tanaman
non-komersial. Biasanya tidak dimiliki latar belakang pengetahuan yang cukup
untuk dapat mengenali manfaat ekonomi spesies pepohonan dan herba/semak.
Sistem agroforestri dikembangkan untuk memberi
manfaat kepada manusia atau meningkatkan kesejahteraan ekonominya. Agroforestri
diharapkan dapat membantu mengoptimalkan hasil dari sebidang lahan pertanian secara
berkelanjutan. Sistem berkelanjutan ini dicirikan antara lain oleh tidak adanya
penurunan produksi tanaman dari waktu ke waktu dan tidak adanya degradasi lingkungan.
Kondisi seperti ini merupakan refleksi dari adanya konservasi sumberdaya alam
yang optimal oleh sistem agroforestri.
Dalam hubungan ini, sistem agroforestri
diharapkan lebih banyak memanfaatkan tenaga dan sumberdaya rumahtangga sendiri
(internal). Di samping itu agroforestri diharapkan dapat meningkatkan
daya dukung ekologi, khususnya di daerah pedesaan. Beberapa manfaat ekonomi dan
ekologi berikut menjadi acuan dalam pengelolaan sistem agroforestri.
1. Penyediaan kebutuhan kecukupan pangan
§ Meningkatkan persediaan pangan yang bersifat tahunan dan musiman; perbaikan
kualitas nutrisi, pemasaran, dan proses-proses dalam agroindustri.
§ Diversifikasi produk dan meminimumkan risiko gagal panen.
§ Keterjaminan pangan secara berkesinambungan.
2.
Penyediaan energi lokal, aneka ragam agrofuels:
Suplai yang lebih baik untuk memasak dan
pemanasan rumah (catatan: yang terakhir ini terutama di daerah pegunungan atau
berhawa dingin)
3. Kualitatas dan diversitas
produk hasil kehutanan dan pertanian:
•= Pemanfaatan berbagai jenis pohon
dan perdu, khususnya untuk produk-produk yang dapat menggantikan ketergantungan
dari luar (misal: zat pewarna, serat, obat-obatan, zat perekat, dll.) atau yang
mungkin dijual untuk memperoleh pendapatan tunai.
•= Diversifikasi produk.
d. Kualitas hidup daerah pedesaan,
khususnya pada daerah dengan persyaratan hidup yang sulit di mana masyarakat
miskin banyak dijumpai:
•= Mengusahakan peningkatan
pendapatan, ketersediaan pekerjaan yang menarik.
•= Mempertahankan orang-orang muda di pedesaan, struktur keluarga
yang tradisional, pemukiman, pengaturan pemilikan lahan.
•= Memelihara nilai-nilai budaya.
e. Pelestarian kemampuan produksi
dan jasa lingkungan setempat:
•= Mencegah terjadinya erosi tanah,
degradasi lingkungan.
•= Perlindungan keanekaragaman
hayati.
•= Perbaikan tanah melalui fungsi
‘pompa’ pohon dan perdu, mulsa dan perdu.
•= Shelterbelt, pohon
pelindung (shade trees), windbrake, pagar hidup (life fence).
•= Pengelolaan sumber air secara lebih baik.
5.4. Pengelolaan Tanaman Secara Terpadu (PTT)
Pengelolaan tanaman
secara terpadu (PTT) adalah pendekatan dalam pengelolaan lahan, air, tanaman, organisme
pengganggu tanaman (OPT), dan iklim secara terpadu dan berkelanjutan dalam
upaya peningkatan produktivitas, pendapatan petani, dan kelestarian lingkungan.
PTT komoditas dapat dirancang berdasarkan pengalaman implementasi
berbagai sistem intensifikasi yang pernah dikembangkan di Indonesia, hasil
penelitian yang menunjukkan sebagian besar lahan telah mengalami kemunduran
kesuburan, dan adopsi filosofi Sistem Intensifikasi Padi (System of Rice
Intensification) yang semula dikembangkan di Madagaskar.
Tujuan penerapan PTT komoditas (misalnya jagung)
adalah untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani serta melestarikan
lingkungan produksi melalui pengelolaan lahan, air, tanaman, OPT, dan iklim
secara terpadu. Prinsip PTT mencakup empat unsur, yaitu integrasi, interaksi,
dinamis, dan partisipatif.
Integrasi
Dalam implementasinya di lapangan, PTT
mengintegrasikan sumber daya lahan, air, tanaman, OPT, dan iklim untuk mampu
meningkatkan produktivitas lahan dan tanaman sehingga dapat memberikan manfaat
yang sebesar-besarnya bagi petani.
Interaksi
PTT berlandaskan pada hubungan sinergis
atau interaksi antara dua atau lebih komponen teknologi produksi.
Dinamis
PTT bersifat dinamis karena selalu
mengikuti perkembangan teknologi dan penerapannya disesuaikan dengan keinginan dan
pilihan petani. Oleh karena itu, PTT selalu bercirikan spesifik lokasi.
Teknologi yang dikembangkan melalui pendekatan PTT senantiasa mempertimbangkan
lingkungan fisik, biofisik, iklim, dan kondisi sosial-ekonomi petani setempat.
Partisipatif
PTT juga bersifat partisipatif, yang
membuka ruang bagi petani untuk memilih, mempraktekkan, dan bahkan memberikan saran
kepada penyuluh dan peneliti untuk menyempurnakan PTT, serta menyampaikan
pengetahuan yang dimiliki kepada petani yang lain.
Dalam menerapkan pengelolaan tanaman secara terpadu ternyata teknologi
tepat guna memegang peran sangat penting. Agar komponen teknologi yang dipilih sesuai dengan kebutuhan
setempat, maka proses pemilihan atau perakitannya didasarkan pada hasil
analisis potensi, kendala, dan peluang atau dikenal dengan PRA (Participatory
Rural Appraisal). Dari hasil PRA dapat teridentifikasi masalah yang
dihadapi dalam upaya peningkatan produksi. Untuk memecahkan masalah yang ada
dipilih teknologi yang akan diintroduksikan, baik dari komponen teknologi dasar
maupun pilihan. Komponen teknologi pilihan dapat menjadi komponen teknologi
dasar jika hasil PRA memprioritaskan penerapan komponen teknologi tersebut
untuk pemecahan masalah utama di wilayah setempat.
Komponen teknologi dasar (compulsory) adalah
komponen teknologi yang relatif dapat berlaku umum di wilayah yang luas, antara
lain:
1) Varietas
unggul, baik dari jenis hibrida maupun komposit atau bersari bebas,
2) Bibit
bermutu dan sehat (perlakuan benih),
3) Populasi
tanaman sekitar 66.600 tanaman/ha, benih ditanam dua biji per lubang dengan
jarak tanam 75 cm x 40 cm,
4) Pemupukan
berimbang, pupuk N diberikan sesuai dengan fase pertumbuhan tanaman dan
menggunakan bagan warna daun (BWD) untuk menentukan waktu dan takaran
pemupukan. Pupuk P dan K diberikan berdasarkan hasil analisis tanah,
5) Saluran
drainase (lahan kering) atau irigasi (lahan sawah).
Komponen teknologi
pilihan yaitu komponen teknologi yang lebih bersifat spesifik lokasi, antara
lain:
1) Penyiapan
lahan dengan teknologi tanpa olah tanah (TOT) atau teknologi pengolahan tanah,
bergantung pada tekstur tanah setempat,
2) Bahan
organik, pupuk kandang, dan amelioran,
3) Penyiangan
dengan herbisida atau secara manual,
4) Pengendalian
hama dan penyakit yang tepat sasaran,
5) Penanganan
panen dan pascapanen.
MENUJU PENGELOLAAN
KEBUN KOPI RAKYAT BERKELANJUTAN
Produktivitas
perkebunan kopi sekala besar, baik milik swasta maupun pemerintah cenderung
terus menurun, demikian pula luas arealnya. Cukup banyak areal perkebunan besar
kopi yang kurang terawat, bahkan dikonversi menjadi tanaman lainnya karena
mengalami kerugian besar selama beberapa tahun. Di perkebunan kopi rakyat,
kondisinya tidak jauh berbeda. Dewasa ini cukup banyak kebun kopi rakyat yang
kondisinya makin memprihatinkan akibat minimumnya perawatan. Di beberapa sentra
produksi kopi bahkan cukup banyak yang dikonversi ke komoditas lain atau
ditumpangsarikan dengan komoditas lain, seperti kakao dengan konsekuensi
mengurangi populasi tanaman kopinya.
Maksimalisasi
biodiversitas kebun kopi merupakan upaya penanaman beberapa jenis tanaman dalam
kebun kopi yang saling kompatibel satu sama lain. Sebagai contoh adalah
penggunaan penaung produktif seperti pete yang sekaligus dapat digunakan
sebagai penyangga tanaman lada. Sebagai penaung juga dapat dipakai pinang yang
memiliki nilai ekonomi cukup baik. Selain itu, kopi juga dapat ditumpangsarikan
dengan kakao yang membutuhkan kondisi lingkungan yang sama, sehingga di antara
kedua jenis tanaman pokok tersebut saling kompatibel. Pemilihan jenis tanaman
dan pengaturan tata tanam yang optimal dalam pola tanam tumpangsari tersebut
menjadi kunci keberhasilan tumpangsari. Fakta di lapangan membuktikan bahwa
petani kopi yang melakukan tumpangsari memiliki ketahanan yang lebih baik
terhadap gejolak harga komoditas.
Pola tumpangsari
kopi dengan beberapa jenis tanaman lain yang kompatibel sangat menguntungkan
ditinjau dari pencegahan degradasi lingkungan fisik. Hasil-hasil penelitian
menunjukkan bahwa adanya beberapa strata tajuk tanaman dan tingkat kedalaman
akar dari beberapa jenis tanaman yang ditumpangsarikan lebih menguntungkan
dalam pemanfaatan air maupun hara dari dalam tanah, mitigasi aliran permukaan,
erosi dan banjir serta jenis degradasi lahan lainnya. Makin tinggi
biodiversitas tanaman di atas permukaan tanah juga menyebabkan makin tingginya
biodiversitas di bawah permukaan tanah dan makin baiknya kesehatan tanah.
5.5. Sustainable Soil-Water Management
Sustainable soil management (SSM) must take a multidisciplinary
approach. It is not limited only to soil science. Basically, we can consider
three aspects of this management system:
·
Bio-physical
aspects: Sustainable
soil management must maintain and improve the physical and biological soil
conditions for plant production and biodiversity.
·
Socio-cultural
aspects: Sustainable
soil management must satisfy the needs of human beings in a socially and
culturally appropriate manner at a regional or national level.
·
Economic
aspects: Sustainable
soil management must cover all the costs of individual land users and society.
The concept of sustainable land management (SLM) can be
applied on different scales to resolve different issues, while still providing
guidance on the scientific standards and protocols to be followed in the
evaluation for sustainable development in the future. Based on this,
sustainable soil management is the basis of sustainable land management, and
sustainable land management is the basis of sustainable development.
Land Quality Indicators (LQIs) are being developed as a
means of improving coordination when taking action on land-related issues such
as land degradation. Indicators are already in regular use to support
decision-making at a national or higher level, but few such indicators are
available to monitor changes in the quality of land resources. We need more
research into LQIs, including:
· How to integrate socio-economic (land
management) data with biophysical information in the definition and development
of LQIs.
· How to scale data for application at
various hierarchical levels.
Indikator untuk Pengelolaan Tanah Berkelanjutan
There are six basic ecological criteria of sustainable soil
management. They should be used frequently to evaluate the sustainability of
soil use. These indicators are:
· Soil mass should be conserved long-term in each
small land unit.
· Soil fertility and biology should be conserved long-term, and damage
by toxic substances from outside minimized.
· Soil use should be stepped up when the marginal
return has significantly increased.
· All forms of soil degradation
(erosion, biological, physical, and chemical degradation) should be prevented.
In degraded soils, soil formation should be enhanced to improve soil biology
and soil fertility.
· Natural biodiversity and the other natural resources of a
region should be conserved or restored, to ensure that the extinction of
individual species does not endanger the biological community.
· Local land use should not hamper the sustainable
development of a zone, especially in social, institutional and economic
respects.
Soil quality can be assessed in terms of the health of the
whole soil biological system. Many scientists feel that any definition of soil
quality should consider its function in the ecosystem. These definitions are
based on monitoring of soil quality in terms of:
· Productivity: The ability of soil to
enhance plant and biological productivity.
· Environmental quality: The ability of soil
to attenuate environmental contaminants, pathogens, and offsite damage.
· Animal health: The interrelationship
between soil quality and plant, animal and human health.
Karakteristik tanah yang ada
kaitannya dengan pengelolaan kualitas tanah yang sehat adalah:
· Indikator Fisika tanah: (1) soil texture, (2) depth of soils,
topsoil or rooting, (3) infiltration, (4) soil bulk density, (5) water holding
capacity.
· Indikator kimia tanah : (1) soil organic matter (OM ),
or organic carbon and nitrogen, (2) soil pH, (3) electric conductivity (EC),
and (4) extractable N, P, K.
· Indikator Biologi tanah: (1) microbial carbon dan nitrogen (2)
potential mineralizable nitrogen (anaerobic incubation) and (3) soil
respiration, water content, dan soil temperature.
An effective solution for soil problems must include early
warning by soil indicators, prevention of soil degradation, rapid assessment of
problems, assessment of the economics of production, risk assessment for soil
pollutants. In sum, it must propose a sustainable way of managing the soil. Many
technical options can be used as components in sustainable soil management
systems. All of them must achieve at least one of the following goals:
·
Minimize soil erosion (erosion control)
· Conserve, or if necessary restore, the
physical, biological, and chemical properties of the soil (soil fertility and
soil structure).
· Enable the soil to retain water (water
balance) and regulate surface run-off.
· Regulate soil temperatures; so that they
become higher in uplands and lower in lowlands (temperature control).
Pengendalian Erosi
Vigorous ground cover is strongly recommended to avoid soil
loss in water run-off. Cropping methods include early sowing, cover crops,
mixed cropping, higher seed density, inter-row cropping and planted fallows.
Splash erosion can be controlled by mulching, or by leaving the residues of
harvested crops on the soil surface. Rill and gully erosion can be controlled
by terracing, or by placing other barriers parallel to the slope such as
contour strips planted with different species of grass. Contour plowing and
minimum tillage are also effective against soil erosion. These methods and
technologies are not widespread. They need further development, and they need
more extension to farmers.
Conserving Soil Fertility and
Soil Structure
As we all know, adding crop residues, manure, and compost
to the soil is a good way of maintaining soil fertility and maintaining soil
structure. Another successful method is mulching, in which people gather
organic substances (grass, leaves, litter, branches) from non-agricultural
areas and spread it on fields to avoid soil erosion and to increase the
fertility of poor soils.
The most effective way to maintain soil fertility, soil
structure and biological activity is to provide enough soil organic matter, or
soil organic carbon pools, in the soil. The soil organic carbon pool is usually
not enough to maintain good soil structure and crop production. An annual
application of 20 mt/ha of organic manure or compost is needed to meet the
demands of crop production and provide good soil structure and biodiversity in
the soil.
Neraca Air Tanah
Untuk dapat memanfaatkan
sumberdaya air secara efektif dan efisien dalam pertanian lahan kering
diperlukan teknologi berikut ini:
·
Memperbaiki
tanaman penutup tanah;
·
Konservasi
Bahan Organik tanah;
·
Mengolah
tanah seperlunya;
·
Membajak dan meratakan permukaan tanah olah;
·
Membuat
dams, saluran drainage;
·
Membuat
teras pada lahan miring.
5.6.
Pengelolaan Agribisnis Komoditas Komersial
Konsep perusahaan dan sistem agribisnis
dimunculkan untuk mengubah paradigma bahwa petani bukan hanya sebagai pekerja
tani atau pengusaha usahatani, tetapi pengelola atau “manajer perusahaan
agribisnis”. Petani senantiasa berorientasi kepada kebutuhan pasar, bersama-sama
perusahaan agribisnis lainnya bersinergi untuk dapat memenuhi kebutuhan
konsumen. Kebersamaan dan saling
ketergantungan antar perusahaan agribisnis dalam menghasilkan produk yang berkualitas
sesuai permintaan pasar itulah disebut dengan “sistem agribisnis.” Apabila
kondisi seperti ini dapat diwujudkan, diharapkan dapat diikuti dengan peningkatan
pendapatan dan kesejehtaraan petani.
Konsep agribisnis sebagai sistem,
merupakan suatu “entitas” , yang tersusun dari sekumpulan subsistem yang
bergerak secara bersama-sama dan saling tergantung untuk mencapai tujuan
bersama. Sejalan dengan pengertian tersebut, Departemen Pertanian (2001)
mengedepankan konsep “perusahaan dan sistem agribisnis”, yakni subsistem
agribisnis hulu (perusahaan pengadaan dan penyaluran sarana produksi),
subsistem agribisnis tengah (perusahaan usahatani), subsistem agribisnis hilir
(perusahaan pengolahan hasil atau agroindustri dan perusahaan pemasaran hasil,
serta subsistem jasa penunjang (lembaga keuangan, transportasi, penyuluhan dan
pelayanan informasi agribisnis, penelitian kaji terap, kebijakan pemerintah,
dan asuransi agribisnis) perusahaan atau lembaga bisnis. Masingmasing
perusahaan tersebut merupakan “perusahaan agribisnis” yang harus dapat bekerja
secara efisien, selanjutnya semua perusahaan agribisnis tersebut harus
melakukan hubungan kebersamaan dan saling ketergantungan dalam suatu sistem
untuk lebih meningkatkan efisiensi usaha dan mencapai tujuan agribisnis.
Ciri perilaku agribisnis berbudaya
industri adalah: (1) tekun, ulet, kerja keras, hemat, cermat, disiplin dan
menghargai waktu; (2) mampu merencanakan dan mengelola usaha; (3) selalu
memegang teguh asas efisiensi dan produktivitas, (4) menggunakan teknologi
terutama teknologi tepat guna dan akrab lingkungan, (5) mempunyai motivasi yang
kuat untuk berhasil, (6) berorientasi kepada kualitas produk dan permintaan
pasar, (7) berorientasi kepada nilai tambah, (8) mampu mengendalikan dan
memanfaatkan alam, (9) tanggap terhadap inovasi, (10) berani menghadapi risiko
usaha, (11) melakukan agribisnis yang terintegrasi maupun quasi integrasi secara
vertikal, (12) perekayasaan harus menggantikan ketergantungan pada alam
sehingga produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan yang diminta
pasar, dan (13) professional serta mandiri dalam menentukan keputusan.
MENDORONG PETANI
MENJADI PELAKU BISNIS DALAM USAHATANINYA
Untuk meningkatkan pendapatan petani dalam mengelola usahataninya, salah
satu upayanya adalah dengan mendorong petani menjadi pelaku agribisnis dalam
mengelola usahataninya. Pengertian ber-agribisnis dalam mengelola usahatani
adalah suatu pemahaman bahwa dari mulai merencanakan usaha yang akan
dijalankan, dalam proses berusaha, sampai proses penjualan produksi; petani
terus melakukan perhitungan-perhitungan secara ekonomi, mana yang paling
menguntungkan. Sehingga dalam pembelian sarana produksi, penggunaan sarana
produksi dan kegiatan yang berhubungan dengan berusahataninya tetap berpedoman
pada hal-hal yang paling efesien dan menguntungkan.
Di lapangan, hal-hal yang dapat mendorong petani menjadi pelaku agribisnis
di dalam mengelola usahataninya adalah penyuluh pertanian lapangan. Para
penyuluh pertanian berusaha mengaplikasikan tentang ilmu agribisnis yang telah
dipelajarinya. Misalnya melakukan penjajakan, survey ke pasar, ke pedagang dan
ke pabrik yang mengolah produksi komoditi yang diusahakan petani. Dengan jalan
demikian diharapkan penyuluh pertanian dapat memadukan antara teori yang
diperoleh dengan kenyataan di lapangan. Sehingga jika terjadi hal-hal yang
kurang pas antara teori dengan kenyataan di lapangan dapat dijadikan bahan pertimbangan
dalam menjelaskan dan mengarahkan pada para petani.
Para penyuluh pertanian harus melakukan penjelasan yang sejelas-jelasnya
kepada para petani tentang apa itu agribisnis ?, apa yang harus dilakukan dalam
kegiatan berusahatani yang berbasis agribisnis ?, dan apa keuntungan para
petani bila melakukan kegiatan usahataninya berbasis agribisnis ? Para penyuluh
dalam menjelaskan kepada petani harus melihat keadaan petani dari segi
pengetahuannya, sikapnya, keterampilannya dan wawasan petani tersebut.
Sebagai teladan, upaya pengembangan sistem
agribisnis melinjo, mangga dan pisang,
dipenga ruhi oleh aktivitas dan perilaku hubungan timbal-balik antara petani,
lembaga kedinasan seperti PPL, Mantan, Manbun, KUD, BRI yang memberikan modal
dan IPTEK, lembaga pemasaran dan industri pengolahan hasil. Di samping
itu juga sektor swasta sangat menentukan berlangsungnya aktivitas agribisnis karena ikut berperanan dalam bidang
penyediaan sarana dan jasa kepada petani. Petani sebagai produsen dituntut
untuk dapat meningkatkan produktivitasnya, dan menguasai pasar serta penanganan
pasca panen. Lembaga pemasaran setempat seperti tengkulak, pedagang dan
pengecer harus dapat menguasai pasar dan berperan aktif dalam pemasaran
melinjo, mangga dan pisang di daerahnya.
Aktivitas agribisnis melinjo, mangga dan pisang umumnya
masih bersifat sederhana. Penanaman komoditi ini secara campuran dengan tanaman ubikayu dan jagung
pada lahan tegalan dan pekarangan. Teknik budidaya tanaman mangga,
melinjo, dan pisang masih belum intensif, karena petani lebih banyak
memperhatikan tanaman pangan, bibit berasal dari pohon induk setempat yang
belum diseleksi. Lembaga pemasaran setempat seperti pedagang, tengkulak dan
pengecer belum dapat menangani pemasaran melinjo, mangga dan pisang secara
maksimal. Demikian pula penguasaan teknik pasaca panen masih rendah.
Lembaga kedinasan seperti PPL, KUD, BRI, masih banyak menangani usahatani tanaman pangan
dan perkebunan (TRI), sedangkan perhatian terhadap usahatani melinjo, mangga dan pisang masih kurang.
Kelemahan yang dijumpai dalam kegiatan agribisnis melinjo, mangga
dan pisang di wilayah ini mengisyaratkan perlunya diadakan upaya pengembangan
dengan memperhatikan struktur sistem agribisnisnya, yaitu (1) sektor
masukan yang ditangani oleh berbagai industri hulu yang memasok bahan
masukan kepada sektor pertanian, (2) sektor produksi (farm) yang ditangani oleh
berbagai jenis usahatani
yang menghasilkan produk-produk bio-ekonomik dan (3) sektor keluaran yang
ditangani oleh berbagai industri hilir yang mengubah hasil usahatani menjadi produk
konsumsi awetan-olahan yang disalurkan kedalam sistem pemasaran kepada
konsumen. Selanjutnya dalam menyusun rancangan pengembangan agribisnis melinjo, mangga
dan pisang harus dipertimbangkan aspek-aspek (1) maksud dan tujuan usaha, (2)
perwilayahan komoditas, (3) teknik budidaya dan konservasi, (4) pengolahan
hasil dan (5) pemasaran hasil (perdagangan).
4.10. Pengelolaan
Industri Kecil Sekala Rumahtangga
TELADAN: Industri Pengolahan EMPING MELINJO
Tanaman melinjo dapat
tumbuh pada ketinggian tempat 0-1.200 m dpl. Dengan demikian, tanaman melinjo
dapat tumbuh di pegunungan berhawa lembab, bisa juga didataran rendah yang
relatif kering. Namun agar dapat berproduksi secara maksimal, melinjo sebaiknya
ditanam di dataran rendah yang ketinggiannya tidak lebih dari 400 m dpl dan
dengan curah hujan sekitar 3.000-5.000 mm/tahun merata sepanjang tahun. Pohon
melinjo sudah dapat dipanen setelah berumur 5-6 tahun. Panen dilakukan dua kali
setahun. Panen besar sekitar bulan Mei-Juli, sedangkan panen kecil sekitar
bulan Oktober- Desember. Sedangkan pemungutan bunga dan daun muda dapat
dilakukan kapan saja. Hasil melinjo per pohon untuk tanaman melinjo yang sudah
dewasa bervariasi antara 15.000-20.000 biji. Menurut petani, tanaman melinjo
umur 15 tahun hasil produksi buahnya mencapai 50 kg klatak (buah yang telah
dikupas kulitnya) sekali panen, berarti produksi yang diperoleh klatak 100
kg/pohon/tahun.
Usaha emping melinjo dapat
dijalankan dengan keterlibatan tenaga kerja yang intensif sebagai pengrajin.
Pada umumnya, pengusaha emping melinjo di Pandeglang memberi pinjaman peralatan
dan bahan baku (biji melinjo) kepada pengrajin untuk digunakan membuat emping.
Emping yang dihasilkan oleh pengrajin kemudian dikembalikan lagi kepada
pengusaha. Sedangkan pengrajin akan memperoleh upah dari pengusaha berdasarkan
jumlah emping yang dihasilkan.
Pada umumnya
pengusaha emping melinjo mengawali usaha dengan modal sendiri. Setelah
berkembang, beberapa diantaranya mulai mengakses kredit dari perbankan.
Kebutuhan kredit tersebut biasanya untuk modal kerja. Kebutuhan modal kerja
terutama untuk pengadaan bahan baku biji melinjo yang relatif besar. Hal ini
mengingat, masa panen buah melinjo hanya dua kali setahun. Oleh karena itu,
pengusaha perlu menyediakan bahan baku yang cukup untuk keberlanjutan
produksinya dalam satu tahun.
Prosedur untuk
memperoleh kredit antara lain kelayakan usaha, ketersediaan jaminan, fotokopi
KTP, surat nikah, Kartu Keluarga, dan Perizinan Usaha. Sedangkan penilaian
kredit, umumnya bank menggunakan kriteria 5C (Capital, Capacity, Collateral,
Character, Condition). Dari kelima C, aspek karakter (character) dan jaminan
(collateral) relatif menjadi prioritas penilaian. Karakter yang meliputi
keuletan pengusaha sangat menentukan keberlangsungan usaha yang berarti
mengindikasikan kelancaran pembayaran kredit. Sedangkan agunan sebagai jaminan
bagi bank jika pengusaha tidak dapat mengembalikan kredit. Jaminan yang
digunakan dapat berupa sertifikat tanah/bangunan tempat usaha. Perihal cara
perhitungan bunga kredit, masing-masing bank menggunakan cara berbedabeda. Ada
bank yang menggunakan sistem bunga menurun, yaitu perhitungan bunga dihitung berdasarkan
jumlah sisa pinjaman dan ada juga bank yang menggunakan sistem bunga flat atau tetap
sepanjang jangka waktu kredit.
Beberapa bank yang
memberi kredit untuk usaha emping melinjo antara lain Bank Pembangunan Daerah,
BRI dan Bank Danamon. Kredit yang dibutuhkan adalah kredit modal kerja.
Berdasarkan informasi dari pihak bank diketahui bahwa pengusaha emping melinjo
tergolong nasabah yang taat. Hal ini dapat diketahui dengan pengulangan kredit
oleh beberapa pengusaha emping.
Risalah Keragaan usaha
pengolahan emping melinjo:
V. PENUTUP
Konsumsi pangan
merupakan jumlah pangan, secara tunggal maupun beragam, yang dikonsumsi
seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
fisiologis, psikologis dan sosiologis.
Setiap orang memiliki keinginan untuk sejahtera,
suatu keadaan yang serba baik, atau suatu kondisi di mana semua orang dalam
keadaan makmur, dalam keadaan sehat dan damai. Ukuran kesejahteraan
secara ekonomi dapat dilihat dari dua sisi, yaitu konsumsi dan produksi
(skala usaha). Dari sisi konsumsi , kesejahteraan dapat didekati dengan cara
menghitung seberapa besar pengeluaran yang dilakukan seseorang atau rumahtangga
untuk kebutuhan pangan dan sandang, serta kebutuhan lainnya dalam waktu atau
periode tertentu.
Beragam cara dan strategi yang ditempuh oleh individu
dan/atau rumahtangga untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang
setinggi-tingginya, termasuk di dalamnya untuk memenuhi kebutuhan kecukupan
pangannya.
Seorang petani atau
rumahtangga tani yang bersifat komersial akan selalu berpikir bagaimana dapat
mengalokasikan sarana-produksinya seefisien mungkin untuk dapat memperoleh keuntungan
yang maksimal (profit maximization).
Dalam hubungan ini, mereka harus memahami bagaimana hubungan input-output yang
dinyatakan dalam fungsi produksi. Fungsi produksi merupakan hubungan antara
tingkat produksi dengan faktor produksi yang digunakan, sedangkan faktor-faktor
yang lain dianggap penggunaannya tetap pada tingkat tertentu. Hal ini
berimplikasi pada bagaimana petani atau rumahtangga tani mengalokasikan
sumberdayanya ke dalam aktivitas produktifnya untuk dapat menghasilkan income
yang sebanyak-banyaknya.
Seorang petani atau rumahtangga tani yang bersifat subsisten
akan selalu berpikir bagaimana dapat menggunakan sumberdayanya untuk dapat
memperoleh hasil produksi yang sebanyak-banyaknya (production maximization). Hasil-hasil produksinya ini akan
dikonsumsi dan sebagian disimpan untuk dapat digunakan pada saat-saat tidak ada
panen.
Sebagian petani atau
rumahtangga tani berperilaku semi subsisten, yang mempunyai ciri-ciri: (1)
tidak terpisahnya antara kegiatan produksi dengan rumah tangga petani, (2)
tujuan produksi tidak semata-mata untuk dipasarkan, tetapi juga untuk memenuhi
konsumsi rumah tangganya, (3) penggunaan tenaga kerja keluarga lebih
diutamakan, (4) terbatasnya ketersediaan tenaga kerja keluarga, dan (5) petani
lebih banyak berperilaku sebagai penerima harga input dan harga output serta
tidak mampu mempengaruhinya.
The Wynn hotel and casino - Hendon Mobhub
BalasHapusThe 전라북도 출장마사지 Wynn casino 태백 출장안마 was once one of the first Las 서귀포 출장마사지 Vegas casinos to be opened. 대구광역 출장안마 The Wynn 경기도 출장마사지 opened its doors to the public on the first floor in 2008.